KOMPAS.com - Sistem presidensial di Indonesia perlu diperkuat agar pemerintah dapat meningkatkan kinerjanya.
Anggota MPR RI dari Partai Nasdem, Syarif Alkadrie, mengatakan banyak hal dalam sistem ketatanegaraan Indonesia perlu dikaji kembali dan ditata ulang.
"Misalnya, pemilihan pejabat negara yang semestinya menjadi ranah presiden," kata Syarif saat Focus Group Discussion (FGD) bertema "Penegasan Sistem Presidensial," Sabtu (20/7/2019) lalu.
Bahkan, ia secara tegas mengatakan perlu adanya ketegasan demi memperkuat sistem Presidensial.
"Masing-masing elemen seperti eksekutif, legislatif semua memiliki fungsi dan tugasnya masing-masing. Ya kembalilah ke ranah tersebut, jangan sampai ada tumpang tindih. Penguatan sistem ketatanegaraan kita mesti juga kearah sana," ujar Syarief dalam pernyataan tertulis, Minggu (21/7/2019).
Baca juga: PAN Akui Dinamika Perebutan Kursi MPR Cukup Tinggi
Hal senada anggota Fraksi PDI Perjuangan Hendrawan Supratikno.
Menurut dia, sistem presidensial yang kuat akan berdampak pada kinerja yang baik pula, dan penguatan itu bisa diperoleh melalui amandemen.
"Peran MPR dalam penegasan dan penguatan sistem presidensial sangat penting yakni melalui amandemen. Di situlah penguatan sistem presidensial terwujud," kata Hendrawan.
Ia menjelaskan, penguatan sistem presidensial akan berdampak kepada sinergitas serta check and balances antara eksekutif dan legislatif.
“Jika sistem Presidensial tegas dan kuat maka akan berdampak baik buat sistem ketatanegaraan kita," ujar dia.
Baca juga: Wasekjen: Tak Ada Ketentuan PDI-P Dapat Kursi DPR, Tak Boleh Isi Kursi MPR
Pendapat Syarief dan Hendrawan tersebut diamini Marwan Cik Asan.
Ia menegaskan, berbagai upaya yang dilakukan anggota MPR RI saat ini, mulai dari menggelar berbagai diskusi, mencari informasi, masukan, pemikiran adalah demi memperbaiki sistem ketatanegaraan Indonesia.
"Sebab selama 21 tahun reformasi, kita terlalu banyak menghabiskan energi karena ketidakstabilan terutama pra pemilu dan saat pemilu,” ujar dia.
Selain itu, tambah Marwan, penguatan sistem ketatanegaraan dapat berdampak pada stabilitas negara.
Masa jabatan presiden
Peserta FGD lainnya dari Universitas Negeri Semarang, Suyahmo, menyebutkan, presiden semestinya memiliki posisi yang relatif kuat.
"Namun sayang, masa jabatan Presiden hanya dua periode. Lima tahun dan selanjutnya bisa dipilih lagi jika terpilih lagi. Dengan diberi 2 kali masa jabatan, seorang presiden pada periode pertama kerjanya bisa jadi kurang all out. Sebab, dibayangi kepentingan politik untuk bisa terpilih lagi untuk periode kedua," kata dia.
Menurut Suyahmo, presiden cukup memegang jabatan satu periode saja, yakni selama 8 hingga 9 tahun.
Dengan demikian, presiden terpilih bisa lebih fokus bekerja secara profesional dan tidak berpikir untuk terpilih lagi.
Selain itu, antara Presiden sebagai eksekutif dan DPR sebagai legislatif secara kuantitatif dalam konteks checks and balances tidak harus didudukan secara proporsional.
Itu artinya, ia melanjutkan, jumlah anggota DPR sebagai pendukung eksekutif diporsikan lebih banyak daripada jumlah anggota DPR sebagai pengontrol.
Baca juga: MPR Rekomendasikan Amandemen UUD Dilakukan pada Periode Mendatang
"Namun, dengan catatan bahwa kualitas, integritas, kapabilitas eksekutif terandalkan hanya bekerja demi kepentingan rakyat," tandas Suyahmo.
Adapun kegiatan FGD ini digelar untuk menghimpun pemikiran dan gagasan kritis, inovatif, solutif dan kontributif bagi MPR khususnya secara kelembagaan dan upaya penataan sistem ketatanegaraan Indonesia.
Hendrawan menegaskan, masukan dan pemikiran para pakar, ahli, akademisi dari berbagai perguruan tinggi tersebut akan dikaji dan diserahkan kepada pimpinan dan anggota MPR periode 2019-2024 dalam bentuk rekomendasi.
"Hasil yang kami bahas sama-sama menghasilkan pemikiran yang luar biasa dan banyak yang ternyata kita satu pemikiran, seperti soal penguatan sistem Presidensial," ujar dia.