KOMPAS.com – Ludruk merupakan salah satu kesenian tradisional yang sangat disukai masyarakat Jawa Timur.
Seni pertunjukan itu digemari karena lakon-lakon yang dipentaskan sangat dekat dengan kehidupan sehari-hari dan diselingi dengan guyonan.
Bahasa yang digunakan pun merupakan bahasa sehari-hari masyarakat.
Sejarah Ludruk sendiri dimulai dari kesenian Lerok khas Jombang, yaitu tandak lanang macak wedok lerak-lerok, yang berarti penari laki-laki berdandan menor mirip perempuan.
Dikutip dari Kompas.com, Senin (18/3/2019), Lerok dibawakan oleh pengamen yang berkeliling desa.
Kesenian itu terus berkembang menjadi seni besutan pada 1920. Kemudian, pada masa penjajahan Jepang seorang seniman Surabaya bernama Cak Durasim memperkenalkan seni lawak mirip besutan, yang disebut sebagai Ludruk.
Baca juga : Kesenian Ludruk di Bumi Majapahit Nyaris Hilang
Dengan sejarahnya yang panjang, kesenian Ludruk memang tidak bisa dipisahkan dari kehidupan masyarakat Jawa Timur.
Oleh karena itu, Majelis Permusyawaratan Rakyat ( MPR) RI memilih kesenian Ludruk sebagai cara untuk menyosialisasikan Empat Pilar MPR di Desa Juluk, Kecamatan Saronggi, Kabupaten Sumenep, Jawa Timur, Sabtu (20/7/2019).
Keempat pilar itu adalah Pancasila, Undang-undang Dasar (UUD) Negara Republik Indonesia (NRI) Tahun 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan Bhinneka Tunggal Ika.
Menurut Kepala Biro Humas Setjen MPR Siti Fauziah, pertunjukan Ludruk dipilih karena filosofi dan ceritanya yang mengandung tuntunan dan dapat dijadikan panutan masyarakatMudah-mudahan cerita ludruk yang disampaikan dalang, M. Didik, melalui lakon ‘Legenda Sumenep’ memberi manfaat untuk masyarakat, dan diterapkan dalam kehidupan sehari-hari,” harap Siti.
Semangat persatuan
Tidak hanya sarana sosialisasi, pertunjukan Ludruk itu juga membawa semangat persatuan dan kesatuan bangsa.
Pasalnya, di tempat tersebut para pejabat daerah dan tokoh masyarakat dari berbagai elemen berbaur dengan masyarakat.
Anggota MPR RI Moh. Nizar Zahro menjelaskan, hal itulah yang ingin dia capai lewat pagelaran Ludruk.
Menurut dia, seni Ludruk dapat menjadi salah satu alat paling efektif untuk menyatukan rakyat dari semua suku atau etnis di tengah situasi sulit seperti saat ini.
“Karena kami sama-sama menyadari bahwa yang kami urus adalah Negara Kesatuan Republik Indonesia, negara milik kita semua, bukan negara milik satu kelompok,” ungkap putra asli Madura itu.
Baca juga : Ludruk Makin Kehilangan Keludrukannya
Terlebih lagi, imbuh Nizar, penduduk Kabupaten Sumenep, baik warga pendatang dan penduduk asli, sangat kompak.
“Tinggal sekarang, bagaimana melalui pagelaran ludruk ini rakyat Sumenep, khususnya kecamatan Saronggi, bisa guyub dan rukun,” ujarnya dalam keterangan tertulis yang diterima Kompas.com, Minggu (21/7/2019).
Pertunjukan Ludruk itu tidak hanya menjadi hiburan, melainkan juga sarana untuk lebih memahami Empat Pilar MPR dan makna dari Pancasila agar masyarakat dapat lebih bersatu.
“Selain untuk sosialisasi Empat Pilar, masyarakat juga dapat mendapat ilmu yang tidak didapati dibangku sekolah,” kata Kepala DPD Desa Juluk Rusmadi.
Empat pilar MPR
Terkait Empat Pilar MPR, Nizar menjelaskan, keempat pilar itu bukan tata urutan kenegaraan, namun hanya pengemasannya saja.
Intinya, imbuh Nizar, ada empat hal pokok di Indonesia yang tidak boleh dilangkahi, yakni Pancasila sebagai ideologi dan dasar negara, UUD NRI 1945 sebagai konstitusi negara, NKRI sebagai bentuk negara, dan Bhinneka Tunggal Ika sebagai semboyan negara.
Untuk itu, ia melanjutkan, apapun bentuk kehidupan di Indonesia tidak boleh bertentangan dengan Pancasila. Jika bertentangan, artinya melawan hukum Indonesia.
Baca juga : MPR Ajukan Rp 398,9 Miliar untuk Sosialisasi Empat Pilar
“Begitu pula UUD NRI Tahun 1945 adalah hukum tertinggi di negeri ini. Kalau ada hukum lain bertentangan dengan konstitusi maka hukum itu menyalahi aturan yang ada di Indonesia,” terang Nizar.
Misalnya, kata Nizar, jika ada peraturan daerah (perda) yang bertentangan dengan UUD, wajib dibatalkan.
Selanjutnya, NKRI merupakan perwujudan Indonesia sebagai satu bangsa dan Bhinneka Tunggal Ika merupakan wujud dari keberagaman bangsa Indonesia.
“Tidak ada negara lain yang bisa hidup di Indonesia ini, selain Negara Kesatuan Republik Indonesia,” ucap dia.
Sebagai informasi, MPR menggunakan berbagai metode untuk menyosialisasikan Empat Pilar dengan sasaran berbagai elemen masyarakat.
Lomba Cerdas Cermat Empat Pilar dipilih sebagai metode sosialisasi untuk siswa SLTA.
Selain itu, Focus Group Discussion (FGD) atau seminar dipilih sebagai metode sosialisasi bagi guru dan pejabat daerah.
Sementara itu, MPR RI menggunakan metode Kemah Empat Pilar dan Training of Trainers (ToT) bagi para mahasiswa.