KOMPAS.com – Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat ( MPR) RI Zulkifli Hasan mengatakan, MPR di bawah kepemimpinannya hanya memiliki waktu dua bulan untuk membahas amandemen Undang-undang Dasar (UUD).
Menurut Zulkifli, amandemen UUD idealnya dibahas maksimal 6 bulan sebelum masa periode MPR berakhir.
Hingga menjelang berakhirnya masa jabatan MPR periode 2014-2019, lanjut dia, amandemen tersebut belum juga rampung.
Ia menjelaskan, salah satu penyebabnya adalah Pemilu Presiden 2019 yang menyita banyak waktu dan perhatian semua orang.
Baca juga : Zulkifli: Pemilihan Pimpinan DPR Keras, tapi di MPR Musyawarah Mufakat
MPR sendiri telah membentuk panitia Ad Hoc sebelum pemilu, namun sebagian besar anggota berpendapat amandemen lebih baik dilakukan setelah pemilu.
Dengan keterbatasan waktu itu, bahan-bahan amandemen yang sudah disusun oleh panitia ad hoc akan direkomendasikan ke MPR Periode 2019-2024.
“Mudah-mudahan bermanfaat bagi MPR periode mendatang,” ucap Zulkifli dalam keterangan tertulis, Kamis (18/7/2019).
Saat sidang akhir masa jabatan MPR Periode 2014-2019 mendatang, dia akan membacakan rekomendasi pentingnya amandemen terbatas UUD NKRI Tahun 1945 dan perubahan Tata Tertib MPR.
Pimpinan MPR selanjutnya
Zulkifli menegaskan tidak mempermasalahkan siapa yang akan menjadi pimpinan MPR selanjutnya.
Kendati demikian, pimpinan baru MPR harus dipilih lewat musyawarah dan mufakat.
Pasalnya, hingga saat ini belum ada undang-undang (UU) atau peraturan yang mengatur mekanisme pemilihan pimpinan MPR.
Mekanisme itu, kata dia, berbeda dengan DPR yang sudah memiliki Undang-undang tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3).
Selain itu, pemilihan pimpinan melalui musyawarah dan mufakat merupakan ciri khas MPR.
“Musyawarah mufakat adalah ciri MPR," kata dia.
Zulkifli pun mengajak masyarakat untuk memperkuat persatuan, terlebih setelah Pemilu Presiden 2019.
Pasalnya, menurut dia, selama delapan bulan lebih Indonesia berada dalam dinamika perbedaan pendapat.