KOMPAS.com – Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Puan Maharani mengatakan, praktik kawin kontrak yang menjamur saat ini banyak menimbulkan kerugian pada pihak perempuan.
Untuk itu, kata dia, perlu ada ketegasan dari pemangku kebijakan agar praktik-praktik kawin kontrak yang ada di pedesaan bisa segera dihapuskan.
“Banyak masyarakat sudah resah. DPR sendiri terus berkomitmen memberikan perlindungan melalui berbagai regulasi yang berpihak kepada perempuan,” tutur Puan, dikutip dari dpr.go.id, Rabu (24/11/2021).
Puan menjelaskan, salah satu upaya yang dilakukan DPR terkait masalah tersebut adalah melalui Rancangan Undang-undang (RUU) Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) yang saat ini masih dalam tahap pembahasan.
Baca juga: Keluarga Korban Pengantin Baru Disiram Air Keras Suami Bantah Tudingan Kawin Kontrak Bupati Cianjur
Dalam RUU tersebut, perlindungan perempuan menjadi salah satu cakupan utama. Pasalnya, perempuan merupakan pihak yang rentan mengalami kekerasan seksual.
“Lewat RUU TPKS, peristiwa-peristiwa kekerasan terhadap perempuan bisa dicegah. Oleh karena itu, kami (DPR) sedang berupaya agar RUU TPKS yang sedang dibahas bisa segera disahkan,” paparnya.
Menurut dia, praktik kawin kontrak bermodus nikah siri sangat rentan menimbulkan kekerasan terhadap perempuan.
“Walaupun banyak kejadian kekerasan, praktik kawin kontrak, khususnya dengan warga negara asing (WNA), masih saja terus terjadi. Padahal perempuan ini rentan dalam praktik kawin kontrak,” ucapnya.
Baca juga: DPR Berkomitmen Sahkan RUU TPKS, Puan Ungkit Kasus Kawin Kontrak yang Tewaskan Wanita di Cianjur
Oleh karenanya, politisi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) itu meminta keseriusan pemerintah dalam menangani persoalan kawin kontrak di Indonesia.
Ia menilai perlunya langkah pencegahan melalui komitmen bersama dari berbagai kementerian dan instansi terkait.
Hal tersebut, kata dia, bisa diwujudkan, salah satunya dengan kolaborasi Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) dengan Kementerian Agama (Kemenag), pemerintah daerah (pemda), dan Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri).
“Pemerintah harus bisa menjamin perlindungan perempuan. Kementerian dan instansi terkait bisa menyosialisasikan potensi terjadinya kekerasan dalam kawin kontrak,” tutur Puan.
Baca juga: Wanita Cianjur yang Tewas Disiram Air Keras Diduga Korban Kawin Kontrak
Di samping itu, Puan turut menekankan pentingnya pengawasan di daerah-daerah yang marak melakukan praktik kawin kontrak.
“Perangkat desa punya peranan penting, mengingat pamong desa merupakan perwakilan pemerintah yang paling dekat dengan masyarakat,” ujarnya.
Kepada pemerintah, ia mengimbau untuk memberikan pengawasan dan pembinaan kepada masyarakat.
“Sampaikan risiko yang dihadapi jika warga hendak melakukan nikah siri atau kawin kontrak,” kata Puan.
Lebih lanjut, Puan berujar, pembekalan, pembinaan, serta pengawasan yang baik juga harus diberikan kepada para penghulu atau amir yang sering bertugas menikahkan pasangan.
Baca juga: Ketua DPR Minta Jaminan Perlindungan Perempuan Pelaku Kawin Kontrak
“Itu menjadi tugas Kemenag lewat Kantor Urusan Agama (KUA). Pencegahan kawin kontrak berkedok nikah siri bisa diminimalisasi. Pastikan penghulu dan amir tidak asal menikahkan pasangan, tetapi juga ikut mengawasi dan memberikan perlindungan,” pesannya.
Sebagai informasi, bahaya kawin kontrak menjadi buah bibir masyarakat Indonesia setelah insiden tewasnya Sarah, perempuan asal Cianjur yang disiram air keras oleh suami kontraknya.
Puan menilai bahwa kasus Sarah tersebut merupakan potret pedih kekerasan terhadap perempuan yang terjadi di Indonesia.
“Ini menjadi tamparan bagi kita semua bahwa perlindungan kaum perempuan masih sangat minim,” ucapnya.
Menurut catatan Komisi Nasional (Komnas) Perempuan, kasus kekerasan terhadap perempuan masih cukup tinggi di Indonesia.
Baca juga: Kemenag: Ribuan Buku Nikah Dicuri, Diduga Diperjualbelikan untuk Kawin Kontrak
Sepanjang tahun 2020, terdapat total 299.911 kasus kekerasan terhadap perempuan. Pada periode Januari-Juli 2021, total ada 2.500 kasus yang terjadi.
Adapun jenis kekerasan yang paling tinggi didominasi dengan kekerasan fisik, seksual, psikis, dan ekonomi.