KOMPAS.com – Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia (RI) Junimart Girsang mengungkapkan lima poin yang menjadi catatan buruk Kementerian Agraria dan Tata Ruang/ Badan Pertanahan Nasional (Kementerian ATR/BPN) di bawah kepemimpinan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (Menteri ATR/Kepala BPN) Sofyan Djalil.
"Pertama, penyebab sertifikat Program Sertifikat Tanah Gratis (PTSL) bermasalah. Sebab, pengukuran melibatkan pihak ketiga, yaitu surveyor yang ditunjuk lewat lelang pekerjaan oleh BPN Pusat," imbuh Junimart seperti dalam siaran pers yang diterima Kompas.com, Kamis (21/10/2021).
Menurut Ketua Panja Mafia Tanah Komisi II DPR ini, validitas pengukuran sertifikat PTSL dari surveyor tersebut bersifat semi ilegal dan tidak bisa dipertanggungjawabkan secara hukum.
Terlebih, pada kontrol kualitas pekerjaan pihak ketiga tidak mempunyai kekuatan hukum atau rechts kadaster.
Baca juga: Kasus Penyalahgunaan PTSL, BPN Nganjuk: Kita Butuh Kejujuran Pihak Perangkat Desa
Untuk diketahui, rechts kadaster merupakan sistem pendaftaran tanah dengan pencatatan yang bertujuan untuk memberikan kepastian hukum.
“Bahkan ada oknum pengukuran yang melakukan pengukuran tanah cukup di atas meja seperti potong tahu," ujar Junimart kepada wartawan di Jakarta, Rabu (20/10/2021).
Untuk poin kedua, lanjut Junimart, seleksi pejabat eselon III dan II di lingkungan Kementerian ATR/BPN selama ini berlangsung sangat diskriminatif dan cenderung korupsi, kolusi serta nepotisme (KKN).
Baca juga: 125 Pegawai Kementerian ATR/BPN Terlibat Mafia Tanah, 32 di Antaranya Dihukum Berat
Artinya, ada banyak Aparatur Sipil Negara (ASN) yang memenuhi syarat tidak bisa menduduki jabatan strategis, begitu pula sebaliknya.
"Sistem pemilihan ASN secara diskriminatif ini menyuburkan mafia tanah. Akibatnya para kepala kantor di tingkat daerah kabupaten atau kota dan kepala kantor wilayah di tingkat provinsi tidak berani menindak para mafia tanah di daerah masing-masing sebagaimana yang diinginkan Presiden Republik Indonesia (RI) Joko Widodo (Jokowi),” ujar Junimart.
Bahkan, sebut dia, sampai ada yang berdalih dengan alasan memilih aman demi jabatan mereka. Sebaliknya para kepala kantor yang ingin menumpas mafia tanah, terkesan diabaikan dan tidak diberi kewenangan.
Adapun poin ketiga, yakni keberadaan Wakil Menteri ATR/BPN Surya Tjandra yang dinilai kurang bekerja menjalankan land reform atau perubahan struktur penguasaan pemilikan tanah dan penanganan konflik agraria.
Baca juga: Wakil Menteri ATR/BPN Sebut Penerbitan IMB dan Amdal Kerap Menyimpang
Kurangnya kinerja tersebut, kata Junimart merupakan salah satu penyebab mangkraknya pengukuran ulang terhadap konflik HGU selama satu tahun terakhir.
"Keempat, yaitu maraknya buku tanah atau warkah pendaftaran tanah yang hilang. Warkah ini merupakan kumpulan berkas penerbitan sertifikat tanah yang disimpan oleh BPN,” ucapnya.
Apabila barang berharga itu hilang, sebut dia, maka berakibat pada tidak terpenuhinya sertifikat. Ironisnya lagi, ada banyak sertifikat tanah terbit dengan lokasi yang tidak terdeteksi keberadaannya.
Sementara itu, poin catatan kelima adalah Kementerian ATR/BPN dianggap lebih memprioritaskan program pemberian sertifikat PSTL dibandingkan sertifikat tanah redistribusi kepada para petani.
Baca juga: Cegah Kasus Pertanahan, Kementerian ATR/BPN Tambah Bidang Baru
Padahal, imbuh Junimart, sertifikat PSTL diklaim tidak sesuai sasaran. Hal ini merupakan penyebab terhambatnya sertifikasi redistribusi.
"Seharusnya, Kementerian ATR/BPN mengutamakan sertifikat tanah redistribusi kepada para petani penggarap atas lahan yang dibagikan oleh negara sesuai ketentuan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 224 Tahun 196," jelasnya.
Dengan lima poin catatan buruk tersebut, Junimart meyakini, Kementerian ATR/BPN di bawah kepemimpinan Sofyan Djalil dalam menjalankan program pertanahan Presiden Jokowi hanya sebatas euforia semata dan jauh dari target alias gagal.
Program pertanahan Presiden Jokowi di antaranya pemberian sertifikat tanah gratis atau PTSL, redistribusi, dan reforma agraria.
Baca juga: Kasus Penyalahgunaan PTSL, BPN Nganjuk: Kita Butuh Kejujuran Pihak Perangkat Desa
"Saya meyakini, Presiden Jokowi tidak mengetahui berbagai fakta permasalahan pertanahan yang terjadi di masyarakat. PTSL, redistribusi, reforma agraria jauh dari target yang dicanangkan oleh presiden bahwa tanah harus pro rakyat sesuai pasal 33 undang-undang dasar (UUD) 1945,” ucap Junimart.
Belum lagi, lanjut dia, adanya keluhan masyarakat tentang sistem pelayanan Badan pertanahan untuk pengurusan sertifikasi.
"Parahnya lagi SOP tidak berjalan. Pengamatan saya berdasar cross check lapangan bahwa kepemimpinan Menteri ATR/BPN Sofyan Djalil asal bunyi (asbun) saja,” imbuh Junimart.
Sebelumnya, Junimart Girsang telah mendesak Menteri ATR/Kepala BPN Sofyan Djalil agar mengundurkan diri dari jabatannya di Kabinet Indonesia Maju.
"Sebagai sosok pemimpin atau akademisi yang cakap, Menteri ATR/ BPN Sofyan Djalil mengundurkan diri dari Kabinet Presiden Jokowi," ujarnya.
Hal itu ditegaskan Junimart sebagai konsekuensi atas carut marutnya konflik pertanahan antara masyarakat dengan para pengusaha.
Konflik kedua belah pihak tersebut bermula dari pemberian izin hak guna usaha (HGU) serta hak guna bangunan (HGB) dari Kementerian ATR/BPN kepada para pengusaha yang kerap kali mengesampingkan hak hukum atas tanah masyarakat.
Baca juga: Dua Pejabat BPN Jadi Tersangka TPPU Terkait Gratifikasi HGU Tanah di Kalimantan Barat
"Carut marut pertanahan di Indonesia semakin menggurita. Terbukti dari berbagai konflik yang terjadi di masyarakat menyangkut pemberian HGU hingga HGB kepada para pengusaha di beberapa daerah,” imbuh Junimart.
Pemberian izin itu, lanjut dia, menimbulkan keresahan di masyarakat. Sebab, sering kali dari hak atas tanah yang diberikan justru membuat masyarakat kehilangan tanahnya sendiri.
Terlebih, maraknya aksi mafia tanah di Indonesia yang justru melibatkan para oknum atau internal dari Kementerian ATR/BPN.
Menurut politisi fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) ini, kemunculan mafia tanah merupakan hasil dari aksi pembiaran yang dilakukan oleh Sofyan Djalil kepada para bawahannya.
Baca juga: Kasus Mafia Tanah Tak Kunjung Tuntas, Sofyan Djalil Beberkan Alasannya
“Permafiaan ini diamini oleh Sofyan Djalil dan memang ada yang dilakukan secara sistemik dan terstruktur,” ujar Junimart.
Lebih lanjut, Politisi kelahiran Kabupaten Dairi, Sumatera Utara itu mengatakan, apabila Sofyan Djalil tidak bersedia mengundurkan diri dari jabatannya, maka Presiden Jokowi harus bertindak tegas dengan mencopot jabatan secara paksa.
"Sebab, hasil temuan kami di Komisi II ketika melakukan kunjungan-kunjungan kerja ke daerah menemukan pemberian HGU dan dan hak tanah lainnya kepada para pengusaha jelas-jelas telah merugikan masyarakat," imbuh Junimart.