KOMPAS.com – Wakil Ketua Badan Kerja Sama Antar Parlemen (BKSAP) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Achmad Hafisz Tohir mengatakan, perempuan berhak mendapatkan kesempatan dan menikmati posisi-posisi tertentu yang sama dengan laki-laki.
“Sebetulnya, akses pendidikan yang kita berikan kepada perempuan itu harus sama dengan laki-laki, tidak boleh dibedakan,” kata Hafisz usai mengikuti roundtable discussion dengan tema “Generating Commitments to Build Forward” secara hibrida di Tangerang, Banten, Selasa (8/6/2021).
Politisi Partai Amanat Nasional (PAN) tersebut menilai, wanita memiliki keterbatasan fisik. Namun, secara kemampuan berpikir dan sisi emosional, baik wanita dan laki-laki memiliki kapasitas yang sama.
“Dari sisi apa pun, saya kira dominasi laki-laki ada pada fisik, tapi di bagian lain, kita sepakat bahwa akses itu harus sama,” kata dia dalam keterangan tertulis yang diterima Kompas.com, Rabu (9/6/2021).
Baca juga: Anggota DPR Nilai Pembangunan Ibu Kota Baru Ilegal karena Tanpa Dasar Hukum
Menurut dia, pendidikan menjadi pintu masuk untuk semua akses yang dibutuhkan perempuan. Sebab, lewat pendidikan, setiap kemampuan akan diuji.
“Apakah dia kompeten ketika mewakili rakyatnya untuk menjadi anggota DPR atau apakah dia kompeten menjadi pemimpin lembaga parlemen dunia. Jangan sampai salah arah, seolah-olah emansipasi ini memberikan kesempatan wanita sebesar-besarnya untuk berkarier politik, bukan begitu,” jelasnya.
Legislator daerah pemilihan (dapil) Sumatera Selatan (Sumsel) I itu menerangkan, masalah ketertinggalan wanita umumnya menjadi problem di negara-negara dunia ketiga, seperti Afrika, Asia Tengah, dan Asia Timur Tengah.
“Masih banyak persoalan mengenai perempuan yang menilai bahwa mereka tidak perlu setara dengan laki-laki,” ucapnya.
Baca juga: Anggota DPR Nilai Pembangunan Ibu Kota Baru Ilegal karena Tanpa Dasar Hukum
Selain itu, sebut dia, dewasa ini, banyak wanita di parlemen yang menyatukan pendapat bahwa tidak ada persoalan yang harus dikotak-kotakan antara kesempatan untuk perempuan dan laki-laki dalam hal mencapai kemajuan bersama.
“Untuk itu, saya sampaikan, yang kita permasalahkan bukan 20 persen, 30 persen, atau 50 persen. Kita ingin betul-betul orang yang terpilih itu punya kemampuan, terserah perempuan atau laki-laki. Saya pikir yang penting aksesnya, ketika suatu lembaga politik memberikan akses cukup kepada wanita, maka dia akan siap bertarung untuk itu,” paparnya.