KOMPAS.com – Ketua Badan Kerja Sama Antarparlemen (BKSAP) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia (RI) Fadli Zon mengatakan, kasus Rohingya akan sulit diselesaikan di bawah genggaman militer Myanmar.
“Di era sipil saja, pemimpinnya takut kepada militer. Sekarang dengan kudeta militer dan krisis politik, kasus Rohingya akan semakin diabaikan pemerintah,” kata Fadli dalam keterangan tertulis yang diterima Kompas.com, Rabu (3/2/2021).
Fadli bercerita, dirinya pernah mengunjungi kamp pengungsian Cox Bazar di perbatasan Bangladesh pada akhir 2017. Ia menyaksikan ratusan ribu warga Rohingya selamat dari kekejaman dan penindasan militer.
“Saya bertemu dengan Mantan Sekretaris Jenderal (Sekjen) Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) Kofi Annan yang sedang melakukan investigasi untuk Annan Report. Ia mengaku sangat prihatin dengan kondisi tersebut,” cerita Fadli.
Baca juga: Polri Terima Laporan terhadap Fadli Zon yang Diduga Beri Like pada Konten Pornografi
Sebagai catatan, sejak 2017, ratusan ribu etnis Rohingya di Myanmar diusir dan tidak memiliki tempat bermukim. Akibatnya, mereka mengungsi ke berbagai negara, termasuk Indonesia.
Untuk itu, Fadli mengimbau agar Perhimpunan Bangsa-bangsa Asia Tenggara ( ASEAN) bisa melakukan tindakan progresif untuk menyikap persoalan yang terjadi di Myanmar.
“Menurut saya, ASEAN perlu mendorong dialog dan power sharing antar fraksi yang terlibat konflik. Selama ini ASEAN terkesan lamban dan tidak berdaya dalam mengatasi berbagai persoalan semacam itu,” katanya.
Ketidakberdayaan ASEAN, lanjut Fadli, dibuktikan dengan panjangnya kasus penyelesaian etnis Rohingya di negara yang dipimpin oleh Presiden Win Myint tersebut.
Baca juga: Beri Like pada Konten Pornografi di Twitter, Fadli Zon Dilaporkan ke MKD DPR
Politisi yang pernah dipercaya menjadi Presiden Organisasi Parlemen Antikorupsi Sedunia (GOPAC) di tahun 2015-2019 tersebut menegaskan, ASEAN harus bisa menafsirkan pesan nonintervensi secara lebih gamblang.
Sebab, menurut Fadli, prinsip tersebut telah lama membelenggu ASEAN dalam melakukan tindakan penting untuk menyelesaikan konflik di negara-negara anggotanya.
“Menghormati negara lain itu penting. Namun asas nonintervensi tidak harus dimaknai bahwa ASEAN pasif atas situasi Myanmar. Saya mendorong agar pemerintah Indonesia menginisiasi dialog tersebut” tegasnya.
Lebih lanjut, Fadli menilai, kudeta militer tersebut tidak hanya menandai kemunduran demokrasi Myanmar, tapi juga mempengaruhi persepsi dunia terhadap praktik demokrasi di ASEAN.
Baca juga: Amien Rais, Mardani, Fadli Zon, hingga Gatot Nurmantyo Hadiri Reuni 212 Online
Sebagai anggota parlemen, Fadli mengaku prihatin. Sebab, kudeta itu dilakukan saat parlemen baru hasil Pemilihan Umum (Pemilu) Myanmar 2020 baru terbentuk.
“Pengambilalihan kekuasaan oleh militer Myanmar itu telah menghilangkan peran parlemen sebagai alat kontrol kekuasaan. Ini buruk bagi demokrasi,” ujar Fadli.
Oleh karena itu, politisi Fraksi Partai Gerindra ini berharap ASEAN Inter-Parliamentary Assembly (AIPA) bisa segera mengambil sikap atas huru-hara politik di negeri pagoda emas tersebut.
Sebelumnya diberitakan, pada Senin (1/2/2021), militer Myanmar melakukan kudeta terhadap pemerintahan Myanmar. Sejumlah pemimpin sipil, seperti Aung San Suu Kyi dan Presiden Win Myint, berserta pejabat negara dan tokoh politik lain, telah ditangkap dan ditahan pihak militer.