KOMPAS.com – Anggota Komisi XI DPR RI Ramson Siagian mengatakan, hingga kini pihaknya belum mengusulkan Quantitative Easing (QE) atau pencetakan uang kepada Gubernur Bank Indonesia (BI).
Untuk diketahui, Quantitative Easing (QE) dengan mencetak uang sekitar ribuan triliun rupiah merupakan salah satu langkah yang dapat diambil jika terjadi resesi ekonomi, seperti yang terjadi di Amerika Serikat pada 1930-an.
Pada pertengahan Maret 2020, Ramson melanjutkan, Komisi XI DPR RI menggelar rapat virtual membahas dampak Covid-19 terhadap perekonomian, bersama Menteri Keuangan (Menkeu), Gubernur BI, OJK, LPS, BPS, perbankan, Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin), dan pihak lain yang terkait.
Pada rapat tersebut Menkeu Sri Mulyani mengatakan, agar krisis ekonomi dan keuangan tidak terlalu mendalam, pemerintah dapat memberi stimulus ke-3 sebesar Rp 405, 1 triliun.
Baca juga: Sri Mulyani Perluas Stimulus Pajak untuk 11 Sektor Usaha
Anggaran stimulus tersebut mencakup Rp 75 triliun untuk kesehatan, Rp 70,1 triliun untuk dukungan industri, Rp 150 triliun untuk dunia usaha, dan Rp 110 triliun untuk social safety net.
Sri juga mengatakan, terdapat beberapa skenario proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2020, yaitu skenario berat sekitar 2,3 persen, dan skenario sangat berat sekitar minus 0,4 persen.
Ramson mengakui, pada rapat tersebut memang timbul berbagai kekhwatiran akan kelanjutan ekonomi nasional.
Maka dari itu, terdapat Anggota Komisi XI DPR RI yang mendesak BI melakukan QE dengan membeli Surat Utang Negara di pasar primer, dan mencetak uang.
Baca juga: Pandemi Corona, Efektifkah jika Pemerintah Lakukan Cetak Uang Baru?
Besaran cetak uang yang dimaksud pun berbeda-beda. Ada yang berpendapat jumlahnya harus Rp 600 triliun, ada pula yang berpendapat sekitar Rp 1.600 triliun. Hal ini sesuai dengan opini publik yang disampaikan salah satu pimpinan Kadin.
Meski begitu, tidak semua Anggota Komisi XI DPR RI mendukung upaya cetak uang. Salah satunya Ramson.
“Berkembang argumentasi seakan-akan Anggota Komisi XI tertentu mengharuskan cetak uang besar-besaran. Saya termasuk yang tegas menolak usulan tersebut,” kata Ramson.
Maka dari itu hingga kini, belum ada rekomendasi resmi kepada Bank Indonesia untuk melakukan QE dengan mencetak uang.
Baca juga: Gubernur BI: Cetak Uang kemudian Dibagikan ke Masyarakat? Enggak Ada Itu!
Ramson pun menjelaskan, sebelum wabah Covid-19 melanda, telah dijalankan kombinasi antara kebijakan moneter dan kebijakan fiskal.
Kombinasi kebijakan tersebut diperlukan untuk merespons potensi perlambatan pertumbuhan ekonomi global dan domestik pada akhir 2019, dengan mendorong peningkatan konsumsi masyarakat, dan mendorong penguatan supply.
Namun sejak awal Maret 2020, anatomi perekonomian nasional bergeser cepat dengan bertambahnya belanja negara untuk peningkatan stimulus dampak Covid-19 dan berkurangnya penerimaan negara.
Sri mengatakan, keadaan tersebut menyebabkan pelebaran defisit fiskal hingga Rp 852,9 triliun, atau sekitar 5 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB).
Baca juga: Tutup Defisit Fiskal Rp 1.400 Triliun, Ini Hitungan BI dan Pemerintah
Untuk mengatasi hal tersebut, pemerintah telah melakukan penyesuaian dengan menerbitkan obligasi Global Bond sebesar 4,3 miliar dollar AS.
BI juga telah melakukan penyesuaian QE dalam bentuk operasi moneter untuk meningkatkan likuiditas.