KOMPAS.com – Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) meminta pemerintah terkait perlu melakukan evaluasi pengenaan tarif cukai secara menyeluruh.
Bukan itu saja, pemerintah pun perlu meninjau ulang definisi perusahaan besar atau kecil pada kebijakan cukai rokok saat ini.
Hal tersebut diungkapkan secara tegas oleh anggota DPR Komisi IX Mafirion Syamsuddin di Jakarta (24/9/2019).
Mafirion juga meminta Kementerian Keuangan ( Kemenkeu) melihat ulang rencana penggabungan batasan produksi Sigaret Kretek Mesin (SKM) dan Sigaret Putih Mesin (SPM) menjadi tiga miliar batang per tahun dan merumuskan kebijakan cukai yang melindungi tenaga kerja segmen Sigaret Kretek Tangan (SKT).
Baca juga: Cukai Rokok Naik, Menaker Minta Tak Ada PHK
"Penting untuk melakukan perlindungan terhadap segmen SKT yang mempekerjakan ratusan ribu ibu-ibu pelinting rokok," ujarnya melalui rilis tertulis, Rabu (25/9/2019).
Apabila hal ini dilakukan, maka cita-cita pemerintah untuk mencapai target penerimaan cukai juga menjadi lebih optimal.
Selain untuk mengoptimalkan penerimaan negara, strategi ini akan memudahkan pemerintah melakukan pengawasan terkait pengenaan tarif cukai sesuai golongan dan batasan produksinya.
“Usulan penggabungan SKM dan SPM sudah saatnya dilakukan pemerintah. Selain menciptakan aturan cukai yang berkeadilan, kebijakan ini akan menghindarkan perusahaan rokok besar yang sengaja menekan produksi untuk menghindari cukai maksimal,” tegas Mafirion.
Menurut Mafirion, saat ini terdapat beberapa perusahaan besar asing yang memproduksi SKM dan SPM lebih dari 3 miliar batang per tahun.
Mereka hanya membayar tarif cukai golongan 2 yang 40 persen lebih murah ketimbang tarif golongan di atasnya.
Kondisi ini yang kemudian menyebabkan adanya persaingan yang tidak sehat dan tidak mendukung tujuan pemerintah terkait pengendalian konsumsi rokok.
Baca juga: Cukai Rokok Naik, Penerimaan Cukai Dipatok Rp 180,5 Triliun di 2020
“Di pasaran misalnya, ada merk rokok putih tertentu dengan harga jual Rp 26.000 tapi cukainya Rp 370, tapi ada rokok yang harga jualnya Rp 24.500 dengan tarif cukai Rp 625. Ini yang saya sebutkan pengenaan cukai yang berbeda,” kata Mafirion.
Sebelumnya, anggota Komisi XI DPR RI Ahmad Najib juga menyampaikan hal serupa.
Penggabungan SKM dan SPM perlu dilakukan agar tidak ada lagi pabrikan besar asing yang memanfaatkan celah dengan membayar tarif cukai murah. Dengan demikian potensi kehilangan pendapatan negara dari cukai dapat diminimalisasi.
“Prinsip dalam sebuah kebijakan itu salah satunya menganut asas keadilan. Jangan menganut asas menyeluruh dengan menyisakan celah untuk dimanfaatkan,” ujar Ahmad Najib.