KOMPAS.com - Ketua DPR RI Bambang Soesatyo meminta Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) lebih sensitif lagi dalam mendukung kelangsungan pengusaha tambang nasional.
Ia menyarankan untuk jangan sampai karena kebijakan yang terburu-buru, malah menyebabkan kerugian besar bagi pengusaha nasional.
Pria yang akrab disapa Bamsoet ini menilai Peraturan Pemerintah No. 1 Tahun 2017 yang memuat ketentuan pelarangan ekspor bijih nikel kadar rendah yang akan dilakukan mulai 2022 masih relevan diberlakukan.
Baca juga: Bamsoet: Foto Bisa Buat Berita Jadi Lebih Terpercaya
"Sebagaimana disampaikan Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI), bahwa dari sisi pengusaha tambang nasional, mereka masih membutuhkan kuota ekspor sampai 2022, sesuai PP No. 1/2017," ujar Bamsoet melalui keterangan tertulis, Senin (2/9/19).
Menyambut aspirasi mereka, DPR RI pun akan segera mengirim surat kepada Kementerian ESDM sebagai respons atas penjelasan Direktur Jenderal (Dirjen) Mineral dan Batu Bara yang akan menghentikan insentif ekspor nikel bagi pembangun smelter per tanggal 1 Januari 2020.Dari perhitungan APNI, apabila pelarangan ekspor tersebut dipercepat akan ada potensi kehilangan penerimaan negara dari ekspor sebesar 191 juta dollar Amerika.
"DPR RI melalui Komisi XI akan mendalami hal ini, karena menyangkut potensi penerimaan negara," tutur Bamsoet.
Selain menghilangkan potensi penerimaan negara dari ekspor, Sekretaris Umum APNI Meidy Katrin Lengkey menambahkan akan ada potensi kerugian terhadap pengusaha tambang nasional yang sedang progres membangun 16 smelter. Kerugian yang ditaksir mencapai Rp 50 triliun.
"Progres pembangunan 16 smelter sudah 30 persen. Target kami selesai pada 2022 sesuai PP No. 1 Tahun 2017," jelas Meidy Katrin Lengkey.
Modal pembangunan tersebut salah satunya didapat dari keuntungan mengekspor nikel.
Jika pelarangan ekspor dipercepat, pembangunan smelter tidak bisa dilanjutkan. Akibatnya, sekitar 15.000 tenaga kerja lokal yang berada di 16 smelter bisa jadi dirumahkan.
Baca juga: Bamsoet Ajak Kaum Muda Bela Negara
Tidak beroperasinya 16 smelter di tahun 2022 juga membuat negara kehilangan potensi penerimaan mencapai 261,273 juta dollar Amerika per tahun dari output produk smelter berupa NPI/FeNi.
Lebih jauh, APNI menuturkan saat ini mereka juga tak bisa menjual bijih nikel ke investor asing yang membangun smelter di dalam negeri.
Pasalnya, selisih harganya yang sangat rendah dibanding ekspor. Sebagai gambaran, harga wet metric ton (WMT) free on board Tongkang (lokal) bijih nikel kadar Ni 1,7 persen sebesar 15 dollar Amerika.
Sedangkan harga free on board vessel (expor) sebesar 35 dollar Amerika. Jika dijual di market domestik, APNI mengaku rugi karena cost produksinya saja mencapai 16,57 dollar Amerika WMT, diluar biaya perizinan, pembangunan sarana, PPN, dan lainnya.
"Selain itu para investor asing yang memiliki smelter di Indonesia menggunakan surveyor yang tidak ditetapkan oleh pemerintah, yaitu Intertek," terang Meidy.
Padahal, dalam Permen ESDM No. 26 Tahun 2018, pemerintah tegas mengatur surveyor yang bisa digunakan antara lain Sucofindo, Surveyor Indonesia, Carsurin, Geo Services, Anindya, dan SCC.
Menanggapi lebih lanjut aduan APNI, Bamsoet menjelaskan bahwa tugas pemerintah bersama DPR RI adalah mendistribusikan keadilan, baik itu keadilan sosial maupun ekonomi.
Termasuk melindungi pengusaha nasional agar tetap bisa menjadi tuan rumah di negeri sendiri.
Baca juga: Panglima TNI ke Papua, Ini yang Akan Dilakukan
"Kami tidak anti terhadap investor asing. Namun, jangan karena kondisi tata kelola niaga yang tidak bagus, justru membuat pengusaha nasional gulung tikar," jelas Bamsoet.
Oleh karena itu, lanjutnya, perlu regulasi dan aturan main yang jelas dari pemerintah untuk memastikan hadirnya keadilan ekonomi agar investor dan pengusaha nasional bisa sama-sama diuntungkan.
"Jangan sampai kita memberi karpet merah terhadap investor asing dengan cara menyingkirkan pengusaha nasional," tutup Bamsoet.