KOMPAS.com - Wakil Ketua Komisi III Dewan Perakilan Rakyat (DPR) Erma Suryani Ranik membeberkan alasan kenapa mereka mengambulkan amnesti Baiq Nuril Makmun.
"Baiq Nuril adalah korban kekersan verbal. Jadi apa yang ia lakukan merupakan upaya melindungi dirinya dari kekerasan psikologi dan seksual. Ini sesuai dengan dalam Pasal 28B ayat (2) UUD Negara Republik Indonesia (NRI) Tahun 1945," Kata Erma Suryani Ranik, seperti dalam keterangan tertulisnya.
Adapun Pasal 28B ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 sendiri yang berbunyi, setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
Sebagai informasi, DPR RI menyetujui permintaan pertimbangan permohonan amnesti Baiq Nuril Makmun lewat Rapat Paripurna DPR, di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta, Kamis (25/7/2019).
Baca juga: Reaksi Baiq Nuril Saat DPR Setujui Pemberian Amnesti
Lebih lanjut, Erma Suryani Ranik menjelaskan Komisi III DPR RI sendiri mempertimbangkan tiga unsur penting dalam pemberian amnesti ini, yaitu kepastian hukum, kemanfaatan, dan keadilan.
"Ketiga unsur itu harus hadir secara proporsional agar hukum dapat menjadi panglima di Indonesia. Khusus amnesti untuk Baiq Nuril, Komisi III DPR RI mempertimbangakan unsur kemanfaatan dan keadilan yang belum terlihat," ujar dia.
Perlu diketahui DPR memberikan pertimbangan amnesti untuk menjawab Surat Presiden bernomor R28/Pres/7/2019 tentang permintaan pertimbangan amnesti.
Nah, setelah disetujui, maka pertimbangan pemberian amnesti oleh DPR akan diserahkan ke Presiden Joko Widodo. Kini kelanjutan pemberian amnesti terhadap Baiq Nuril berada di tangan Presiden Jokowi.
Baca juga: Amnesti Baiq Nuril Kini di Tangan Jokowi...
Sebagai informasi, Kasus Nuril bermula saat ia menerima telepon dari Kepalasa Sekolah berinisial M pada 2012.
Dalam perbincangan itu, Kepsek M bercerita tentang hubungan badannya dengan seorang wanita yang juga dikenal Baiq. Karena merasa dilecehkan, Nuril pun merekam perbincangan tersebut.
Kepsek M menyebut, aksi Nuril membuat malu keluarganya. Baiq Nuril pun menjalani proses hukum hingga persidangan.
Hakim Pengadilan Negeri Mataram, Nusa Tenggara Barat memvonis bebas Nuril. Namun, jaksa mengajukan banding hingga tingkat kasasi.
Nuril kemudian mengajukan Pinjauan Kembali (PK). Dalam sidang PK, Mahkamah Agung (MA) memutuskan menolak permohonan PK Nuril dan memutus Nuril harus dieksekusi sesuai dengan vonis sebelumnya.
MA kemudian memberi vonis hukuman 6 bulan penjara dan denda Rp 500 juta karena dianggap melanggar Pasal 27 Ayat 1 juncto Pasal 45 Ayat 1 UU Nomor 11/2008 tentang ITE.
Terkait kasus Nuril, Erma Suryani Ranik menegaskan bahwa Komisi III DPR menilai sesungguhnya yang menjadi korban adalah Baiq Nuril.
Bukan kepala sekolah yang melaporkan ia ke penegak hukum, karena alasan menyebarkan informasi melanggar kesusilaan di media sosial.
Meski begitu, kata Erma, Komisi III DPR mengapresiasi dan menghormati keputusan MA yang menolak PK PK Baiq Nuril itu
“Namun, Komisi III juga mempertimbangkan keadilan masyarakat luas bahwa Baiq Nuril adalah korban yang sebenarnya, bukan pelaku sebagaimana didakwakan Pasal 27 ayat (1) Joncto Pasal 45 UU ITE,” papar Erma.
Baca juga: Amnesti Disetujui, Baiq Nuril Bilang "Terima Kasih Pak Presiden, Terima Kasih DPR..."
Dijelaskan Erma, amnesti tidak melulu diberikan kepada seseorang yang tersangkut persoalan politik. UUD NRI Tahun 1945 juga tak menyebut amnesti hanya untuk kasus politik.
Amnesti sendiri berasal dari kata amnestia yang berarti lupa atau amnestos (melupakan). Dengan amnesti tersebut dimaksudkan kasus hukum yang menimpa seseorang bisa dilupakan.
“Dalam terminologi hukum pidana, amnesti mengandung makna suatu kekuasaan untuk melepaskan seseorang atau kelompok orang yang dinyatakan bersalah oleh pengadilan dari pengenaan sanksi hukum akibat tindak pidana tertentu atau penghapusan akibat tindak pidana," ujar dia
Namun, kata dia, dalam perkembangannya masih banyak pandangan klasik yang menyebut amnesti seolah hanya diberikan kepada mereka yang melakukan perbuatan melawan hukum terkait persoalan politik.
Erma yang membacakan laporan Komisi III DPR RI pada Rapat Paripurna DPR RI menjelaskan pula proses pemberian pertimbangan amnesti di Komisi III DPR RI.
Pada 24 Juli kemudian sudah menggelar rapat kerja dengan Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly untuk mendengar keterangan pemerintah terkait persoalan ini.
Setelah itu, pada 25 juli barulah Komisi III DPR RI mengambil keputusan resmi.
Pada bagian akhir laporannya, Erma mendesak pemerintah agar bersama DPR RI merumuskan Rancangan Undang-Undang (RUU) yang mengatur amnesti dan abolisi.
Sampai saat ini belum ada regulasi yang mengaturnya secara detail. Adapun yang ada adalah UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Grasi dan aturan rehabilitasi yang dimuat dalam UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.