KOMPAS.com - Anggota Komisi I Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia (RI) Dave Akbarshah Fikarno menyarankan pemerintah untuk membentuk markas militer secara permanen di Papua.
Tujuan pembentukan markas militer tersebut, kata dia, untuk menyelesaikan persoalan di Bumi Cenderawasih secara komprehensif dari berbagai aspek kehidupan masyarakat.
"Saya mendorong dibentuk markas-markas militer di Papua bersifat permanen, seperti Komando Kawasan Militer (Kodam), Komando Distrik Militer (Kodim), Komando Rayon Militer (Koramil), dan pos jaga militer," kata Dave dalam keterangan tertulis yang Kompas.com terima, Kamis (21/7/2022).
Pernyataan tersebut ia sampaikan dalam diskusi Dialektika Demokrasi bertajuk "Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) Papua Kembali Berulah, Dimana Kehadiran Negara?" di Kompleks Parlemen, Jakarta, Rabu (20/7/2022).
Dave mengungkapkan, pembentukan markas militer secara permanen diperlukan karena masih terjadi ancaman dari kelompok separatis di Papua.
Baca juga: Anggota Komisi I Usul Pemerintah Dirikan Markas Militer Baru untuk Selesaikan Konflik di Papua
Adanya ancaman dari kelompok separatis tersebut, imbuh dia, dapat membuat situasi mencekam seperti kejadian penembakan di Kampung Nogolait, Nduga, Papua, yang menyebabkan 10 orang tewas.
“Selama ini Satuan Tugas (Satgas) yang ada di Papua sifatnya temporer atau sementara dengan masa tugas sekitar 6 sampai 12 bulan. Waktu ini kurang maksimal dalam melakukan pendekatan kultural kepada masyarakat,” ujar Dave.
Oleh karenanya, ia berharap, keberadaan markas militer secara permanen juga ikut membangun ikatan batin yang kuat dengan masyarakat di Papua.
Dengan ikatan batin tersebut, maka dapat memperkuat dan membangun kecintaan masyarakat dan militer kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
"Markas militer bersifat permanen itu agar terjalin komunikasi yang intens dengan masyarakat, sehingga saling memperkuat dan membangun kecintaan pada NKRI," ucap Dave.
Baca juga: Contoh Sikap yang Mencerminkan Cinta NKRI
Pada kesempatan tersebut, Dave mengungkapkan, konflik yang terjadi di Papua salah satunya karena pemerataan kesejahteraan yang belum merata.
"Seperti ‘kue’ pembangunan dan kegiatan ekonomi di Papua sebagian besar bukan dilakukan Orang Asli Papua (OAP), sehingga menimbulkan kecemburuan dan mendorong aksi kriminalitas," tuturnya.
Teori kue, kata dia, adalah sebuah kiasan tentang pembangunan ekonomi dan retribusi kekayaan dalam ranah politik Tiongkok.
"Kami liat secara fakta dan data. Seperempat masyarakat di Papua masih di bawah tingkat kemiskinan, literasi masih rendah, apalagi di daerah pegunungan. Itu yang menjadi alasan kenapa masih ada konflik yang menyebabkan pertempuran dan pembunuhan," ujar Dave.
Baca juga: 11 Warga Meninggal Diserang KKB, Mahfud: Kita Tetap Gunakan Pendekatan Keamanan Tertib Sipil
Selain pemerataan kesejahteraan, ia juga menyoroti berbagai tindak kekerasan dan pembunuhan yang terus dilakukan KKB di Papua.
KKB sendiri menyasar korban dari masyarakat sipil, seperti ustaz, pendeta, dan tokoh agama.
Menurut Dave, kekerasan tersebut terus berulang dan tidak ada berhenti. Hal ini diperparah dengan dukungan dari masyarakat internasional.
"Mereka bersembunyi bahwa yang dilakukan KKB bukan terorisme tetapi pejuang kebebasan. Memperjuangkan hak-hak yang tertindas," katanya.
Untuk menyelesaikan persoalan tersebut, imbuh Dave, diperlukan penegakan hukum pada pihak-pihak yang mendukung tindakan KKB secara logistik, dana, peralatan, dan intelijen.
Baca juga: Polisi Sebut Bekas Anggota TNI Terlibat Kasus Penyerangan KKB yang Tewaskan 11 Warga Sipil di Nduga
Sebagai langkah lebih lanjut, Politisi Partai Golongan Karya (Golkar) itu mengatakan, pemerintah sejauh ini telah melakukan berbagai langkah pendekatan di Papua.
"Bukan hanya dari sisi ekonomi, tetapi juga kultural dan agama agar pemerataan pembangunan, akses pendidikan berjalan dengan baik," ucap Dave.