KOMPAS.com - Wakil Ketua Koordinator Bidang Industri dan Pembangunan (Korinbang) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia (RI) Rachmat Gobel menegaskan, Indonesia punya komoditas pengganti tepung gandum.
Komoditas yang dimaksud adalah tepung sagu, tepung singkong, tepung jagung, tepung ubi, dan tepung talas.
Gobel mencontohkan, di Kabupaten Meranti, Riau, ada mie dari bahan sagu. Untuk itu, Indonesia bisa beralih menggunakan tepung pengganti gandum.
“Maka saatnya kita beralih, seperti Vietnam membuat mi dari beras, atau Jepang membuat mie dari soba," kata Gobel, kepada wartawan di Jakarta, Senin (18/7/2022).
Demikian pula untuk kue, lanjut Gobel, sudah saatnya Indonesia mengandalkan tepung berbahan lokal.
“Jadi, yang diperlukan adalah gerakan nasional mengurangi ketergantungan pangan yang berbahan gandum,” ujar dia dalam keterangan tertulisnya, Senin.
Baca juga: Dosen IPB Sarankan Hal Ini untuk Lewati Krisis Pangan
Bukan tanpa sebab Gobel menghimbau seperti itu. Pasalnya nilai impor gandum di Indonesia selalu meningkat setiap tahunnya.
Gobel mengatakan, pada 2017, nilai impor gandum mencapai 2,92 miliar dollar AS. Lalu pada 2021 melambung menjadi 4,07 miliar dollar AS.
“Tanah Indonesia memang tidak cocok untuk tanaman gandum. Namun kita harus melakukan diversifikasi,” ungkapnya.
Menurut Gobel langkah diversifikasi tersebut perlu dilakukan untuk mencegah Indonesia mengalami krisis pangan.
Selain melakukan diversikasi pangan, Rachmat Gobel mengajak pemerintah dan seluruh masyarakat meningkatkan produksi komoditas daging, susu, dan kacang kedelai. Hal ini juga penting dilakukan untuk mencegah krisis pangan di Tanah Air.
“Yang dibutuhkan adalah kesungguhan, perlindungan, dan koordinasi. Jadi, bebannya bukan hanya ke Kementerian Pertanian saja, tetapi juga melibatkan kementerian/lembaga lain,” kata Rachmat Gobel.
Secara merinci Gobel mengungkapkan, pada 2021 produksi kedelai dalam negeri hanya 213.548 ton, sedangkan impornya mencapai 2,48 juta ton atau 95 persen. Padahal, pada 2016, petani Indonesia masih mampu memproduksi 1,39 juta ton.
“Untuk kacang kedelai, Indonesia pernah mandiri di masa lalu. Namun, karena salah kebijakan dan tiadanya perlindungan, Indonesia kini tergantung impor. Tapi produksi kedelai kemudian menurun terus,” ujar dia.
Baca juga: Harga Kedelai di Semarang Naik, Diprediksi Ukuran Tempe Mengecil dan Harganya Naik
Dia menjelaskan, kondisi ketergantungan terhadap impor juga terjadi pada daging, susu, mentega, dan telur.
Pada 2017, kata dia, impor susu, mentega, dan telur mencapai 990 juta dollar AS. Lalu pada 2021 melonjak menjadi 1,39 miliar dollar Amerika Serikat (AS).
Sementara itu, impor daging pada 2017 mencapai 590 juta dollar AS, tetapi pada 2021 melesat menjadi 965 juta dollar AS.
Hal paling parah, menurut Gobel, adalah impor gandum. Pada 2017, nilai impor gandum mencapai 2,92 miliar dollar AS. Lalu pada 2021 melambung menjadi 4,07 miliar dollar AS.
“Tanah Indonesia memang tidak cocok untuk tanaman gandum. Namun kita harus melakukan diversifikasi,” ungkapnya.
Dia menegaskan, Indonesia punya komoditas pengganti tepung gandum, seperti tepung sagu, tepung singkong, tepung jagung, tepung ubi, dan tepung talas.
Gobel mencontohkan, di Kabupaten Meranti, Riau, ada mie dari bahan sagu. Untuk itu, Indonesia bisa beralih menggunakan tepung pengganti gandum.
“Maka saatnya kita beralih, seperti Vietnam membuat mi dari beras, atau Jepang membuat mie dari soba," kata Gobel.
Demikian pula untuk kue, lanjut Gobel, sudah saatnya Indonesia mengandalkan tepung berbahan lokal.
“Jadi, yang diperlukan adalah gerakan nasional mengurangi ketergantungan pangan yang berbahan gandum,” ujar dia.
Rachmat Gobel mengemukakan, pihaknya sangat peduli pada masalah pangan karena pangan menyangkut ketahanan nasional.
“Banyak pemerintahan jatuh dan suatu negara roboh karena tak mampu menyediakan pangan untuk rakyatnya,” ucap dia.