KOMPAS.com – Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia (RI) Puan Maharani menghadiri forum MIKTA Speakers’ Consultation di Meksiko, Senin (6/5/2024).
Pada kesempatan itu, dia membahasa soal tantangan ekonomi global, persoalan migran, dan mendorong penuntasan genosida di Gaza, Palestina.
MIKTA, yang terdiri dari Meksiko, Indonesia, Korea Selatan, Turki, dan Australia, merupakan negara-negara middle power atau kekuatan menengah.
MIKTA Speakers’ Consultation merupakan forum pertemuan konsultatif antara Ketua Parlemen negara-negara MIKTA. Dalam pertemuan ini, parlemen Meksiko sebagai tuan rumah mengusung tema “The Coordinated Action of Parliaments to Build a More Peaceful, Equitable, and Fair World”.
Puan memimpin sesi ketiga pada konsultasi ketua parlemen negara anggota MIKTA yang membahas tentang “Perdagangan sebagai Sarana untuk Meningkatkan Pembangunan Berkelanjutan dan Kesejahteraan Bersama”.
Baca juga: Perdagangan Ilegal Burung Kicau Liar, Pakai Kamuflase Penangkaran?
“Meskipun dihadapkan pada kondisi yang tidak menentu, perdagangan tetap diharapkan sebagai motor penggerak untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan mengentaskan kemiskinan,” ujarnya dalam siaran pers yang diterima Kompas.com, Selasa (7/5/2024).
Puan juga menyoroti data dari IMF yang menyebut pertumbuhan ekonomi dunia sebesar 3,2 persen pada 2024 dan 2025.
Sementara itu, menurut World Trade Organization (WTO), proyeksi pertumbuhan volume perdagangan pada 2024 sebesar 2,6 persen.
“Terlihat bahwa meski menghadapi banyak tantangan, baik ketegangan geopolitik, krisis iklim, maupun disrupsi teknologi, arus perdagangan dunia masih dapat tumbuh positif,” tutur Puan.
Baca juga: Emiten Perdagangan Aspal SOLA Bakal IPO dengan Harga Perdana Rp 110 Per Saham
Puan mengatakan bahwa isu perdagangan tidak terlepas dari dinamika geopolitik global.
Rivalitas kekuatan besar telah menyebabkan beberapa negara menerapkan kebijakan decoupling, friend-shoring, dan de-risking.
“Kebijakan-kebijakan ini telah menyebabkan fragmentasi dalam perdagangan internasional. Perang dan ketegangan di Timur Tengah dan Ukraina juga telah mengganggu rantai pasok global, termasuk untuk produk pangan, pertanian, dan minyak,” ucap Puan.
Lebih lanjut, Puan berbicara mengenai berbagai tantangan ekonomi global, termasuk bentuk baru globalisasi yang dipengaruhi oleh perkembangan geopolitik global.
Baca juga: Geopolitik Indonesia dalam Era Multipolar
Perubahan pola perdagangan internasional yang terjadi membuka peluang bagi negara-negara anggota MIKTA untuk meningkatkan arus perdagangannya, tetapi hal ini harus dilakukan sesuai dengan aturan yang berlaku di WTO.
“Perubahan pola perdagangan internasional yang baru ini membuka peluang negara anggota MIKTA untuk lebih meningkatkan arus perdagangannya. Namun, semua ini harus dilakukan sejalan dengan aturan pada WTO,” ujar mantan Menko PMK itu.
“Dari perspektif MIKTA, kami berharap aturan WTO dapat memfasilitasi peningkatan arus perdagangan middle power, seperti MIKTA yang ekonominya masih terus berkembang,” sambung Puan.
Dengan jumlah populasi melebihi 500 juta orang, kelima negara MIKTA diharapkan dapat memberikan kontribusi positif bagi perekonomian global.
Baca juga: OJK: Kondisi Perekonomian Global Lebih Baik dari Ekspektasi
Setiap ekonomi negara MIKTA juga diharapkan dapat memainkan peran penting dalam rantai pasok global.
“Sebagai kemitraan lintas kawasan, MIKTA harus menjadi penghubung antara negara maju dan negara berkembang dalam proses perundingan di WTO. Setiap negara MIKTA memiliki potensi ekonomi yang unik dan dapat saling melengkapi,” imbuhnya.
Dalam konteks tersebut, Puan menyoroti perspektif Indonesia yang menginginkan upaya perlindungan lingkungan melalui kebijakan perdagangan harus memperhitungkan tingkat pembangunan yang berbeda di setiap negara.
“Kita harus mencegah upaya perlindungan lingkungan menjadi dalih untuk melakukan proteksionisme perdagangan terselubung (disguised protectionism),” tegas Puan.
Baca juga: Jokowi: Alat Komunikasi Kita Didominasi Impor, Sebabkan Defisit Perdagangan Rp 30 Triliun
“Saya mengajak parlemen anggota MIKTA untuk memperkuat komitmen bersama terhadap sistem perdagangan multilateral yang non-diskriminatif, adil, terbuka, dan inklusif. Hanya dengan demikian, perdagangan dapat berperan dalam mencapai tujuan pembangunan global (SDGs),” sambungnya.
Dalam kesempatan tersebut, Puan membahas perlunya solusi konkret untuk mengatasi permasalahan arus migrasi internasional yang semakin meningkat.
Pada sesi keempat MIKTA Speakers’ Consultation ke-10, para pembicara membahas fenomena meningkatnya arus migrasi internasional yang terjadi setiap hari di seluruh dunia.
Para migran dihadapkan pada keputusan yang sangat sulit dalam hidup mereka, yaitu meninggalkan rumah dan negara asal mereka demi mencari kehidupan yang lebih aman dan lebih baik.
Baca juga: Ekonomi Tumbuh 5,11 Persen, Jokowi: Negara Lain Masuk Jurang, Kita Naik
Puan menekankan pentingnya berbagi beban dan tanggung jawab dengan negara-negara yang paling terdampak oleh arus migrasi.
“Sebagai kerja sama antar kawasan, MIKTA memiliki peran penting dalam memperkuat tata kelola migrasi melalui implementasi Global Migration Compact untuk memastikan migrasi yang aman, teratur, dan berkala (safe, orderly, and regular migration).
Perempuan pertama yang menjabat sebagai Ketua DPR RI itu pun mendorong MIKTA untuk bekerja sama dalam mempromosikan kebijakan integrasi migran ke masyarakat negara tuan rumah (host country) dan inklusi sosial.
Puan menyebut, langkah tersebut sebagai hal penting untuk memperbaiki tataran domestik yang berkaitan dengan masalah migran.
“Sebagai bagian dari komunitas internasional, kita semua harus mencari solusi dan langkah kolektif dalam melindungi hak asasi manusia (HAM),” ujarnya.
Baca juga: Perlakuan Taliban pada Perempuan Jadi Sorotan Pertemuan HAM PBB
Dalam kesempatan tersebut, Puan menyoroti langkah-langkah yang telah diambil oleh Indonesia, meskipun bukan merupakan negara pihak dalam Konvensi Pengungsi 1951.
Indonesia secara konsisten mengutamakan pendekatan kemanusiaan dan menerapkan prinsip-prinsip HAM.
“Hal ini telah ditunjukkan salah satunya dalam pemberian bantuan kemanusiaan dan fasilitasi penampungan sementara bagi 1.900 pengungsi Rohingya, serta penanganan lebih dari 12.000 pengungsi lainnya di Indonesia,” jelas cucu Bung Karno itu.
Puan juga menegaskan bahwa prioritas pengelolaan isu migrasi di Indonesia fokus pada diplomasi perlindungan, terutama bagi pekerja migran Indonesia (PMI).
Baca juga: PMI Asal Cirebon Meninggal di Korsel, Keluarga Sebut Korban Dikeroyok 5 Orang
Hal tersebut mencakup kewajiban untuk memastikan keselamatan dan pemenuhan hak-hak PMI beserta keluarganya selama seluruh siklus migrasi.
Sejak 2023, lebih dari 110 juta orang terpaksa mengungsi dari tempat asal mereka. Dari jumlah ini, sekitar 40 persen adalah anak-anak dan 48 persen adalah perempuan.
Mereka terpaksa meninggalkan rumah mereka karena konflik, persekusi, kekerasan, atau mencari peluang ekonomi untuk bertahan hidup.
Selain itu, ada juga yang mengungsi akibat dampak perubahan iklim yang semakin membahayakan.
Baca juga: CEK FAKTA: Benarkah Perubahan Iklim Sebabkan Kasus DBD Meningkat?
Dalam 10 tahun terakhir, lebih dari 63.000 orang telah kehilangan nyawa saat melakukan migrasi.
“Kondisi ini menuntut aksi kolektif untuk mengelola aliran migrasi dengan memperkuat kerjasama antara negara asal, negara transit, dan negara tujuan serta melindungi HAM,” kata Puan.
“Hal ini dilakukan dengan pembagian tanggung jawab secara adil dan efektif dengan memperkuat kerja sama antara negara asal, negara transit, dan negara tujuan,” imbuhnya.
Secara paralel, MIKTA dianggap memiliki potensi untuk mengatasi akar masalah migrasi yang tidak teratur (irregular migration).
Baca juga: Hardiknas 2024, Puan Maharani Soroti Ketimpangan Pendidikan hingga Kesejahteraan Guru
Salah satu upaya yang disoroti oleh Puan adalah peningkatan bantuan pembangunan bagi negara-negara dengan tingkat migrasi tinggi (negara asal) untuk meningkatkan kesejahteraan rakyatnya.
“Di kawasan Asia Tenggara, khususnya ASEAN, kami memastikan jalur resmi pergerakan migran yang aman. Hal ini sesuai dengan Deklarasi ASEAN tentang Perlindungan dan Penguatan Hak-hak Pekerja Migran,” ujarnya.
Pada masa keketuaan Indonesia di ASEAN pada 2023, komitmen tersebut diperkuat melalui deklarasi baru yang melindungi pekerja migran dan keluarga mereka selama krisis.
Selain itu, Indonesia juga aktif dalam mendorong perlindungan hak-hak migran melalui kerja sama Bali Process, yang bertujuan untuk mengatasi penyelundupan manusia, tindak pidana perdagangan orang (TPPO), dan kejahatan transnasional terkait di Asia Pasifik.
Baca juga: Polri Terbitkan Red Notice 2 Buron TPPO Bermodus Magang ke Jerman
“Terkait peran parlemen, DPR RI sebagai tuan rumah Sidang Umum ke-44 ASEAN Inter-Parliamentary Assembly (AIPA) memimpin komitmen parlemen Asia Tenggara dalam mendorong solusi krisis politik dan kemanusiaan di Myanmar,” ucap Puan.
Oleh karenanya, Puan mendorong pembuatan produk legislasi yang berfokus pada perlindungan migran melalui undang-undang (UU) atau ratifikasi kerangka kerja internasional terkait.
“Dalam diskusi multilateral tentang tata kelola migrasi, fokus seringkali pada dampaknya terhadap pembangunan. Namun, pentingnya memperhatikan perspektif HAM dalam diskusi ini tidak boleh diabaikan,” katanya.
Ia menegaskan bahwa parlemen perlu menjamin kebijakan migrasi yang inklusif dan didasarkan pada prinsip-prinsip HAM, serta memastikan bahwa prinsip-prinsip HAM tercermin dalam tata kelola migrasi internasional.
Baca juga: Usai Migrasi Bisnis Konsumer, Citi Indonesia Cetak Laba Rp 2,5 Triliun pada 2023
“Melalui diplomasi parlemen, saya mengajak kita semua untuk berkontribusi dalam perumusan kebijakan migrasi dan mewujudkan tata kelola migrasi yang (memperhatikan) dimensi HAM,” jelas Puan.