KOMPAS.com – Wakil Ketua Komisi VII Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Eddy Soeparno mengatakan, DPR dan pemerintah tengah mengambil jalan tengah dalam perdebatan skema power wheeling dalam pembahasan Rancangan Undang-undang Energi Baru dan Energi Terbarukan ( RUU EBET).
"Pembahasan RUU EBET saat ini masih di tingkat panitia kerja (panja) Komisi VII DPR. Kemungkinan, kami di Komisi VII DPR dengan pemerintah sudah bersepakat untuk memasukan skema power wheeling dalam skala terbatas,” ujarnya di Senayan, Jakarta, Senin (6/2/2023).
Dia menjelaskan, skema power wheeling atau pemanfaatan bersama jaringan tenaga listrik akan menciptakan kondisi multiple seller dan multiple buyer listrik di Indonesia.
Mekanisme yang dipilih DPR dan pemerintah adalah membolehkan perusahaan swasta (independent power producers/IPP) membangun pembangkit listrik dan menjual listrik EBET kepada pelanggan rumah tangga dan industri.
Baca juga: Menteri ESDM Ungkap Pentingnya RUU EBET untuk Capai Target Nol Emisi Karbon
“Hal ini sebagai jalan tengah untuk daerah-daerah yang memang sulit dijangkau, dan belum ada jaringan PLN," katanya dalam siaran pers, Senin.
Eddy menyebutkan, penjualan listrik dari swasta menggunakan jaringan distribusi dan transmisi milik PT PLN (Persero) dan dilakukan melalui open source dengan membayar fee yang ditetapkan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).
"Power wheeling itu penting untuk akselerasi industri EBET. Kalau kita andalkan PLN saja maka lama waktunya," tambahnya.
Dengan penerapan skema power wheeling yang terbatas untuk daerah tertentu, PLN tidak akan terbebani dalam menyediakan listrik untuk masyarakat. Di sisi lain, hal ini akan mempercepat pengembangan industri EBET di Indonesia.
Eddy mengatakan, dengan konektivitas jaringan PLN ke seluruh Indonesia, daerah yang memiliki energi, misalnya di Jawa Timur (Jatim), bisa menutupi kekurangan di daerah lainnya, misalnya di Sumatera Barat (Sumbar).
Baca juga: Rapat dengan Kepala Otorita, Anggota DPR Pertanyakan Sumber Biaya Pembangunan IKN
Meski demikian, lanjut Eddy, investasi interkonektivitas tersebut tidak kecil dan tidak murah sehingga akan menjadi masalah tersendiri.
"Tetapi, common ground yang akan kita capai di situ, antara kita dengan pemerintah, supaya di daerah-daerah yang masih sulit dijangkau, yang belum ada jaringan PLN, akan kita berikan kesempatan untuk pihak ketiga ikut membeli energinya," katanya.
Politisi dari Fraksi PAN itu menambahkan, selama ini, PLN selalu mengaku surplus listrik. Sementara itu, pada 2023 diperkirakan akan terjadi kenaikan pertumbuhan konsumsi listrik sebesar 800 megawatt (MW).
Tidak hanya itu, listrik yang masuk pada 2023 mayoritas berasal dari pembangkit berbasis bahan bakar fosil sebesar 7 gigawatt (GW).
"Makanya kami minta berikan kesempatan bagi pihak lain untuk bisa menyerap energi itu. Namun, kalau ada pihak ketiga membeli dan menyerap energi, ditambah EBT yang sudah ada ini terserapnya akan lama. Oleh karena itu, PLN bersikeras untuk tidak menerapkan power wheeling," ujar Eddy.
Baca juga: Bripka Madih Diperas Sesama Polisi, Wakil Ketua Komisi III DPR: Segera Gelar Sidang Etik