KOMPAS.com - Wakil Ketua Badan Kerja Sama Antar-Parlemen (BKSAP) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia (RI) Putu Supadma Rudana mengatakan bahwa Indonesia memegang teguh komitmen mengatasi perubahan iklim untuk mencapai emisi nol bersih pada 2060 atau lebih cepat.
Adapun komitmen untuk mencapai emisi nol bersih pada 2060 atau lebih cepat sebelumnya telah ditegaskan dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Perubahan Iklim Conference of the Parties (COP 26) di Glasgow pada 2021.
“Komitmen ini dilakukan melalui pembangunan rendah karbon (PRK) sebagai tulang punggung strategi pemulihan yang akan membawa Indonesia menuju ekonomi hijau,” kata Putu dalam keterangan tertulis yang diterima Kompas.com, Jumat (7/10/2022).
Pernyataan tersebut disampaikan Putu pada “2nd Session Parliamentary Forum in The Context of The G20 Parliamentary Speaker’s Summit (P20)” di Kompleks Parlemen, Jakarta, Kamis (6/10/2022).
Menurut Putu, Indonesia telah menunjukkan komitmen di tingkat internasional dalam menghadapi perubahan iklim beserta dampak-dampak buruknya.
Baca juga: Wapres Akan Dorong Kerja Sama Tanggulangi Perubahan Iklim di KTT COP27
Hal tersebut ditunjukkan melalui dukungan dan ratifikasi berbagai perjanjian internasional, termasuk Perjanjian Paris melalui Undang-undang (UU) Nomor 16 Tahun 2016.
Selain itu, kata dia, Indonesia juga memberikan dukungan lewat United Nations Framework Convention on Climate Change atau Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) mengenai Perubahan Iklim.
Kemudian, melalui UU Nomor 6 Tahun 1994 dan Protokol Kyoto, serta UU Nomor 17 Tahun 2004.
“Karena komitmen internasionalnya, Indonesia juga telah mengadopsi tujuan yang ambisius, tetapi dapat dicapai,” ujar Putu.
Tujuan ambisius yang dimaksud, salah satunya adalah meningkatkan persentase rencana pengurangan emisi gas rumah kaca (GRK) sebesar 27,3 persen pada 2024 atau meningkat 1,3 persen dari rencana 2015-2019.
Pengurangan emisi gas rumah tersebut diintegrasikan dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024.
Baca juga: BNPT Sebut Indeks Risiko Terorisme 2021 Lebih Baik dari Target RPJMN
“Indonesia juga menerbitkan Nationally Determined Contribution (NDC), yang menetapkan target tanpa syarat untuk mengurangi emisi GRK sebesar 29 persen,” ucap Putu.
NDC juga menetapkan target bersyarat sebesar 41 persen. Penetapan target ini akan dilakukan dengan dukungan internasional sebagai bagian skenario business as usual pada 2030.
Pada kesempatan tersebut, Putus mengungkapkan bahwa parlemen memiliki peran yang krusial dalam perumusan kebijakan untuk mengatasi perubahan iklim.
Peran krusial dalam mengatasi perubahan iklim tersebut dapat dilakukan melalui tiga fungsi utama parlemen, yaitu legislatif, penganggaran, dan pengawasan.
Dalam konteks itu, menurut Putu, masyarakat harus memastikan bahwa UU atau tindakan tentang perubahan iklim bersifat inklusif.
“Dan sejalan dengan tujuan pembangunan berkelanjutan yang menyeimbangkan tiga pilar, yaitu ekonomi, sosial, dan lingkungan juga sangat penting selama fase pemulihan pandemi Covid-19,” katanya.
Untuk mencapai tujuan tersebut, lanjut Putu, anggota parlemen harus menerapkan beberapa hal penting.
Pertama, mengintegrasikan pendekatan berbasis hak asasi manusia (HAM) terhadap perubahan iklim.
Kedua, mengarusutamakan dan meningkatkan visibilitas prinsip-prinsip HAM nondiskriminasi, kesetaraan, akuntabilitas, dan partisipasi dalam pengambilan keputusan.
Menurut Putu, filosofi tersebut akan memiliki manfaat sosial-ekonomi dan lingkungan yang signifikan bagi rakyat Indonesia.
Baca juga: Timnas Indonesia Percaya Diri, Filosofi Shin Tae-yong Mulai Dipahami
"Hal tersebut diterapkan selain mendukung resolusi dan deklarasi tentang aksi iklim di forum internasional seperti Inter Parliamentary Union (IPU).
“Selain itu, masyarakat juga harus didorong untuk berpartisipasi dan berkontribusi dalam kegiatan terkait aksi iklim. Dalam konteks ini, Bali memiliki kearifan lokal yang selalu dijunjung tinggi, yaitu filosofi Tri Hita Karana,” jelas Putu.
Menurutnya, filosofi tersebut mendefinisikan hubungan antara manusia dan Tuhan, manusia dan alam, dan manusia dengan sesama manusia.
“Tuhan menciptakan alam juga untuk dijaga, alam harus dihormati, dilindungi, dan dilestarikan,” tutur Putu.