KOMPAS.com – Anggota Komisi X Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia (RI) Andreas Hugo Pareira mendukung keputusan DPR yang meminta pemerintah untuk menyelesaikan sengketa kenaikan biaya masuk ke Taman Nasional (TN) Komodo.
Kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah tersebut, menurut Andreas, merugikan masyarakat yang berada di sekitar TN Komodo. Selain itu, permasalahan ini juga menimbulkan tekanan bagi pelaku wisata di Labuan Bajo.
“Maka dari itu saya meminta Komisi X DPR untuk menganggendakan Rapat Dengar Pendapat (RDP) dan mengundang Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf), perwakilan pelaku wisata di Labuan Bajo, Badan Pelaksana Otorita Labuan Bajo-Flores (BPOLBF), dan PT Flobamora pada sidang yang akan datang untuk membicarakan permasalahan ini,” ungkap Andreas dalam keterangan persnya, Kamis (4/8/2022).
Sebagai informasi, pemerintah memutuskan untuk menaikkan biaya masuk ke TN Komodo, termasuk di dalamnya Pulau Komodo dan Pulau Padar dengan biaya dari Rp 200.000 menjadi Rp 3,75 juta.
Tarif tersebut berlaku untuk satu tahun, tetapi belum termasuk fasilitas menyewa kapal dan akomodasi.
Baca juga: Menyoal Kenaikan Tiket TN Komodo, Turis Asing Pun Sebut Terlalu Mahal
Adapun kenaikan biaya itu menimbulkan aksi demo yang berujung kerusuhan di Labuan Bajo. Kondisi ini bahkan sempat menjadi perhatian internasional.
“Situasi Labuan Bajo dengan suguhan aksi-aksi demo merupakan suguhan yang buruk bagi wisatawan dan berujung negatif bagi kampanye untuk Labuan Bajo," sebut Andreas.
Jika kondisi demo itu terus berlanjut, lanjut dia, wisatawan akan merasa enggan dan tidak nyaman untuk berkunjung ke Labuan Bajo.
"Maka dari itu perlu untuk duduk bersama dan mencari solusi demi menghentikan aksi demo itu,” jelas Andreas.
Andreas bersama dengan DPR mendorong agar pemerintah bersama stakeholder terkait untuk segera menyelesaikan kerusuhan yang terjadi di Labuan Bajo.
“Penyebab mogok massal dipicu oleh ketidakpercayaan pelaku wisata akan motif alasan kenaikan tarif dengan diberikan hak monopoli oleh Pemerintah Provinsi (Pemprov) NTT kepada Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) Flores, Sumba, Timor, dan Alor (Flobamora) untuk menetapkan tarif dan mengelola TN Komodo tanpa melibatkan rakyat yang telah lebih dulu terlibat sebagai pelaku industri pariwisata,” jelas Andreas.
Baca juga: Pelaku Pariwisata di Labuan Bajo Mogok, Anggota Dewan Minta Komisi X DPR Gelar RDP
Selain itu, kenaikan tarif yang terjadi dimaksudkan untuk memberi batasan bagi pengunjung. Tujuannya adalah untuk melindungi Komodo dari kepunahan.
Sayangnya, kebijakan yang dikeluarkan tersebut justru berdampak pada ratusan orang di Labuan Bajo yang menggantungkan hidupnya dari kedatangan wisatawan.
“Kebijakan ini tentunya berimbas pada pelaku wisata dan ekonomi kreatif (ekraf) yang baru saja pulih pascapandemi Covid-19 dengan kembali ramainya kunjungan turis dari dalam negeri maupun luar negeri ke Labuan Bajo,” ujar Andreas.
Baca juga: Soroti Kenaikan Tiket TN Komodo, Walhi NTT: Pemerintah Jangan Represif Bungkam Kritik
Menurut Andreas, Labuan Bajo memang dikenal sebagai destinasi yang banyak menarik turis dari luar negeri untuk berkunjung.
Namun, sejak beberapa tahun terakhir, pariwisata di Labuan Bajo banyak mengandalkan wisatawan lokal, khususnya dengan adanya pembatasan akibat pandemi Covid-19.
“ Kenaikan tarif itu tentu akan berdampak besar bagi para pelaku pariwisata yang tak hanya mengharapkan kehadiran turis dari luar negeri atau turis kaya. Apalagi selama pandemi, para pelaku pariwisata justru tertolong dengan kehadiran wisatawan domestik.
“Hal ini membuktikan para turis yang tidak berkantong sangat tebal justru menjadi jaring pengaman sosial bagi industri wisata di Labuan Bajo. Oleh karena itu, kebijakan kenaikan tarif wisata perlu untuk dikaji ulang demi keberlangsungan industri pariwisata di Labuan Bajo,” ucapnya.