KOMPAS.com – Peraturan Menteri Tenaga Kerja (Permenaker) Republik Indonesia (RI) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Tata Cara dan Persyaratan Pembayaran Manfaat Jaminan Hari Tua menuai reaksi. Hal ini juga memunculkan petisi penolakan dari kalangan pekerja.
Menanggapi hal tersebut, anggota komisi IX Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Netty Prasetiyani Aher meminta pemerintah untuk mengkaji ulang. Bahkan, mencabut peraturan tersebut.
“Permenaker tersebut mencederai rasa kemanusiaan dan mengabaikan kondisi pekerja yang tertekan dalam situasi pandemi,” kata Netty dalam keterangan pers yang diterima Kompas.com, Sabtu (12/02/22).
Menurut Wakil Ketua Fraksi PKS DPR RI itu, sejumlah pasal dalam Permenaker menunjukkan ketidakpekaan pemerintah terhadap situasi pandemi yang membuat pekerja mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK).
(Baca juga: Komisi V DPR Ingin Pembangunan Stasiun dan Rel Ganda Rancaekek Tingkatkan Produktivitas Masyarakat)
Salah satunya, lanjut dia, aturan mengenai penerimaan manfaat Jaminan Hari Tua (JHT) yang baru diberikan kepada peserta setelah berusia 56 tahun.
“Seorang peserta harus menunggu selama 15 tahun untuk mencairkan manfaat JHT jika ia berhenti pada usia 41 tahun. Hal ini tidak masuk akal,” jelas Netty.
Menurut Netty, aturan tersebut berlaku pada peserta yang berhenti bekerja karena mengundurkan diri, terkena PHK, atau meninggalkan Indonesia selama-lamanya.
Berdasarkan data Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan per Desember 2021, jumlah klaim peserta yang berhenti bekerja akibat pensiun hanya sebesar tiga persen.
Sementara itu, jumlah klaim dari peserta yang mengundurkan diri mencapai 55 persen. Lalu, jumlah klaim dengan alasan PHK mencapai 35 persen
“Berhenti bekerja karena PHK tentu bukan keinginan pekerja. Berhenti karena pengunduran diri pun bisa karena situasi di tempat kerja yang sudah tidak nyaman. Jadi, mengapa JHT yang sebagiannya merupakan tabungan peserta ditahan pencairannya?” ungkap Netty.
(Baca juga: DPR Minta Pemberlakuan PPKM di Jawa-Bali Dibarengi Standar Pendekatan Berbasis Risiko)
Dia menilai, dana tersebut justru dibutuhkan pekerja untuk bertahan hidup di masa pandemi Covid-19.
Oleh karena itu, Netty meminta pemerintah mencabut peraturan tersebut sebagai bukti empati dan keberpihakan terhadap pekerja. Terlebih, saat ini, gelombang PHK semakin besar. Hal ini merupakan gambaran bahwa pandemi telah menggerus kemampuan ekonomi keluarga Indonesia.
“Jika pemerintah tidak menggubris peringatan ini, saya khawatir tekanan hidup serta kesulitan akan membuat rakyat semakin keras menolak dan melawan pemberlakuan peraturan tersebut,” ujar Netty.
Sementara itu, Direktorat Jenderal (Dirjen) Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial (PHI dan Jamsos) Kementerian Ketenagakerjaan ( Kemenaker) Indah Anggoro Putri mengatakan bahwa pekerja yang berpotensi terkena PHK hingga akhir 2021 berjumlah 143.065 orang.
(Baca juga: Kasus Omicron Meningkat, Anggota Komisi IX DPR Minta Pemerintah Ambil Langkah Jelas)
Kemudian, pekerja yang berpotensi dirumahkan sebanyak 1.076.242 orang, sedangkan jumlah perusahaan yang berpotensi ditutup sebanyak 2.819 perusahaan.
Pada kesempatan itu, Netty juga meminta pemerintah agar memperbaiki tata kelola komunikasi publik terkait penerapan aturan.
"Pemerintah harus dapat membuka ruang dialog dan mendengarkan aspirasi masyarakat dengan baik,” kata Netty.
Menurut dia, pemerintah juga perlu melakukan sosialisasi dan edukasi mengenai regulasi secara utuh. Pasalnya, hal ini menyentuh berbagai ruang kehidupan masyarakat secara luas.