KOMPAS.com - Anggota Komisi IX DPR RI Netty Prasetiyani, meminta DPR dan pemerintah menunda pembahasan Omnibus Law Cipta Kerja, dan fokus menanggulangi coronavirus disease 2019 (Covid-19).
“Diperlukan kefokusan energi untuk mengalahkan Covid-19. Apalagi berbagai kalangan menunjukkan masih banyak pasal yang perlu dibenahi,” kata Netty seperti dalam keterangan tertulisnya.
Pasal yang dimaksud Netty adalah pasal terkait upah minim, status outsourcing seumur hidup, pelegalan tenaga asing tak terdidik, penghilangan sanksi pidana bagi perusahaan, hilangnya jaminan sosial bagi kaum pekerja, serta mudahnya Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).
Di samping itu Netty menilai, penundaan pembahasan Omnibus Law Cipta Kerja membuat aspirasi kaum pekerja dan pemangku kepentingan lebih terserap.
Baca juga: Bahas Omnibus Law Cipta Kerja di Tengah Pandemi, DPR Dinilai Tak Peka terhadap Rakyat
Pasalnya dalam kondisi Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), masyarakat tidak leluasa terlibat dalam pembahasan.
“Ada masanya membahas pemulihan ekonomi dan Omnibus Law dalam situasi yang lebih tenang, dan memberi kesempatan seluas-luasnya kepada rakyat untuk mengkritisi,” kata Netty.
Netty menambahkan, untuk menghapus stigma negatif pembahasan Omnibus Law, DPR dan pemerintah harus transparan, serta melibatkan pakar, akademisi, praktisi, maupun masyarakat terdampak.
“Pemerintah harus transparan dan berpihak pada kepentingan pekerja dengan pendekatan win-win solution. Jangan sampai ada penumpang gelap yang mendapat keuntungan,” kata Netty.
Baca juga: Tanpa Partisipasi Publik, Omnibus Law Cipta Kerja Jadi Cacat Moral
Terlepas dari itu, Netty mengajak seluruh pihak bergotong royong dan fokus memerangi Covid-19 yang saat ini tengah mewabah di Indonesia.
Menurutnya, pemerintah dan DPR harus fokus pada optimalisasi penanganan Covid-19 sampai status bencana nasional dicabut.
Tak kalah penting, DPR sebagai pengawas perlu mengawasi besaran anggaran yang diberi pemerintah kepada Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19.
”Pemerintah memberi Gugus Tugas anggaran sebesar Rp 405 triliun atau setara dengan 15,9 persen dari Anggaran pendapatan dan Belanja Daerah (APBN). Harus diawasi, jangan sampai terjadi penyelewengan bahkan abuse of power,” kata Netty.