KOMPAS.com - Pada Rapat Kerja Komisi XI DPR RI bersama Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati beserta jajarannya, terungkap keberadaan desa fiktif atau desa tidak berpenghuni yang menerima dana desa.
Tidak dilakukannya pengusutan terhadap keberadaan desa fiktif tersebut membuat dana desa ditransfer secara terus-menerus. Bahkan agar bisa mendapatkan aliran dana desa, desa-desa fiktif makin ramai bermunculan.
Padahal, besar anggaran dana desa terus meningkat setiap tahunnya. Tahun ini, total alokasi dana desa mencapai Rp 70 triliun. Jumlah tersebut naik tiga kali lipat dari tahun 2015.
Pada 2020 mendatang, total alokasi dana desa akan mencapai Rp 72 triliun. Melihat besaran jumlahnya, pembiayaan dana desa pada desa fiktif tentunya akan merugikan keuangan negara.
Wakil Ketua Komisi XI DPR RI Achmad Hatari mencontohkan salah satu desa tidak berpenghuni yang tercatat dalam data pemerintah kabupaten setempat.
Baca juga: Ramai Soal Desa Fiktif, Ini Mekanisme Pembentukan Desa Baru
“Saya kebetulan tahu persis di Halmahera Selatan ada pulau-pulau kecil yang tidak berpenghuni. Tetapi kalau bupati mencatat itu sebagai desa, kami bisa bayangkan berapa banyak anggaran kita yang sudah turun selama bertahun-tahun ini dihabiskan,” kata Hatari, seperti dalam keterangan tertulisnya.
Terkait masalah tersebut, Hatari mengingatkan risiko yang didapat jika tidak segera dilakukan pengusutan pada keberadaan desa fiktif.
Jika dibiarkan, Hatari mengatakan, Pilkada serentak yang akan dilaksanakan tahun depan di 270 kabupaten atau kota bisa mengacaukan dana desa.
“Apalagi tahun depan ada Pilkada serentak, ini bisa jadi Anjungan Tunai Mandiri (ATM), apalagi kepala daerah yang incumbent," kata Hatari saat raker bersama Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/ Kepala Bappenas, di Gedung Nusantara I Senayan Jakarta, Rabu (6/11/2019).
Itu itu, lanjut Hatari, ia menghimbau semua jajaran mengecek kembali tata kelola dana desa.
"Paling tidak Pak Menteri bisa me- pola yang kacau ini,” ucap Hatari.