KOMPAS.com – Peringatan Hari Sumpah Pemuda hendaknya bukanlah sekadar ajang seremoni saja. Momen itu juga harus menjadi pengingat bahwa nilai Sumpah Pemuda harus diterapkan.
“Berkaca pada Sumpah Pemuda 91 tahun lalu, para pendiri bangsa ini sibuk mencari titik temu dan merumuskan persatuan di atas segala perbedaan dan ratusan alasan untuk bermusuhan,” ujar Wakil Ketua DPR RI, Azis Syamsuddin, seperti keterangan tertulis yang diterima Kompas.com, Senin (28/10/2019).
Baca juga: Ikuti Legal Expo 2019, DPR RI Usung Tema “DPR Baru, Harapan Baru”
Azis juga mengenang Sunario Sastrowardoyo sebagai salah satu penggagas Sumpah Pemuda.
Menurut tokoh bangsa itu, imbuh Azis, nilai persatuan dan kebangsaan Indonesia tidak dilatari faktor kultural, ras, wilayah, atau agama tertentu saja.
“Tapi justru kompleksitas perbedaan itu diletakkan di atas landasan perasaan senasib sepenanggungan. Perasaan inilah yang mengikat semua jenis perbedaan yang sangat banyak di Indonesia," kata dia.
Tak cuma itu, Aziz mengatakan persatuan dibutuhkan Bangsa Indonesia sebagai benteng untuk menghadapi ancaman global.
“(Ancaman global) Mulai dari resesi ekonomi global, dinamika keamanan dunia yang terus bereskalasi, dan meluasnya demonstrasi massa yang menandai adanya krisis legitimasi di banyak negara," imbuh dia.
Baca juga: DPR RI Gelar Rapat Paripurna Perdana, Ini Hasilnya
Oleh karena itu, lanjut Azis, persatuan bangsa saat ini bukan sekadar hal baik lagi. Persatuan telah menjadi hal mendesak yang harus dilakukan.
"Sepatutnya, bila kita belum mampu merumuskan Sumpah Pemuda, setidaknya belajarlah memaknainya, atau sekurang-kurangnya berusahalah menerimanya,” lanjut politisi Golkar itu.
Lebih lanjut, Azis menyayangkan terjadinya perpecahan yang terjadi di Indonesia karena pemilihan presiden (pilpres) beberapa tahun ini.
Menurutnya banyak pihak mengartikan pilpres sebagai perjuangan hidup-mati mempertahankan eksistensi kelompok.
"Tak ayal kekacauan makna pun terjadi. Jargon-jargon perang justru muncul pada konteks damai,” lanjut Mantan Ketua Komisi III DPR RI itu.
Baca juga: Puan Ajak Elite Politik Saling Menghargai dan Menghormati untuk Rakyat
Selain itu, imbuh Azis, konteks perjanjian dagang dan investasi antar negara diartikan sebagai aneksasi, dan konteks Pemilu diartikan sebagai revolusi.
"Pendapat-pendapat dan analisis ilmiah yang berupa kritik atau apresiasi dicurigai memiliki tendensi, dimasukkan dalam konteks politik dan pilpres yang bergerak dinamis," tegas Azis.
Menurut Wakil Ketua DPR RI itu, saat ini bangsa Indonesia tengah kehilangan makna Sumpah Pemuda.
“Salah satu contohnya adalah rekonsiliasi yang dilakukan Presiden Jokowi dan Prabowo Subianto dianggap melanggar kode etik politik,” lanjut Azis.
Menurut dia meski keduanya bersatu dan bekerja sama, langkah politik mereka dianggap sebagai ambivalensi yang melanggar keadaban politik.
Baca juga: Puan Minta Para Menteri Harus Bersinergi dan Hilangkan Ego Sektoral
“Demikian juga ketika para elit politik bersatu dan duduk bersama dalam satu kabinet kerja. Tidak sedikit pihak yang kecewa," kata Azis.
Padahal, imbuh dia, kontestasi politik tidak pernah bisa dipahami hitam dan putih.
“Harapannya, apa yang ada dan sudah dicontohkan para elit politik tersebut bisa mengalir ke bawah agar kita siap menghadapi tantangan besar ke depan,” ujar Azis.