KOMPAS.com – Pemerintah memiliki rencana akan menaikkan Iuran Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS).
Rencana kenaikan ini dilakukan secara serentak mulai 2020 pada golongan kelas I, II, dan kelas III. Adapun iuran kelas I dari Rp 80.000 menjadi Rp 160.000, kelas II dari Rp 51.000 menjadi Rp 110.000 serta kelas III dari Rp 25.500 menjadi Rp 42.000.
Terkait hal tersebut, anggota DPR RI Adang Sudrajat meminta pemerintah untuk membatalkan rencana kenaikan iuran BPJS Kesehatan.
Legislator dari Kabupaten Bandung dan Bandung Barat ini berkeyakinan, bila BPJS dinaikkan, dampak yang dirasakan masyarakat yang tergolong memiliki ekonomi lemah akan sangat terasa bebannya.
Baca juga: Puan Minta Kinerja Manajemen BPJS Kesehatan Harus Diperbaiki
“Saya melihat bahwa pemerintah saat ini sedang tambal sulam kebijakan untuk menutupi defisit BPJS. Ini cenderung memberatkan dan membebani rakyat,” ujar Adang dalam berita rilisnya, Jumat (11/10/2019).
Ia menyampaikan, masyarakat yang paling terbebani oleh kenaikan BPJS adalah masyarakat yang merupakan Pekerja Bukan Penerima Upah (BPU).
Mereka pekerja yang melakukan kegiatan atau usaha ekonomi secara mandiri untuk memperoleh penghasilan dari kegiatan atau usahanya.
“Pekerja bukan penerima upah adalah kelompok masyarakat yang paling rentan terhadap perubahan iklim usaha, tapi paling berjasa dalam memacu perekonomian. Golongan ini ditenggarai yang paling banyak menunggak iuran BPJS, karena iklim usaha yang tidak kondusif,” ujarnya.
Baca juga: Dede Yusuf: Iuran BPJS Kelas III Tidak Naik
Ditegaskannya, kebijakan meletakkan BPJS sebagai satu-satunya penyelenggara Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) adalah keputusan politik yang gegabah karena selain menafikan kemampuan beberapa daerah yang memiliki keluangan finansial.
Hal tersebut juga terbukti kontra produktif terhadap desentralisasi kewenangan yang sedang dibangun.
“Pemerintah terhadap BPJS ini seperti menganugerahkan kewenangan monopoli operasional pada badan yang belum terbukti keandalannya. Pemerintah terlalu percaya diri memberi kepercayaan yang sangat besar kepada BPJS sebagai operator JKN sehingga pada akhirnya realisasi di lapangan menjadi amburadul,” tutup Adang.