KOMPAS.com – Ketua DPR Bambang Soesatyo memahami keinginan Presiden Joko Widodo yang meminta empat rancangan undang-undang ( RUU) untuk ditunda pengesahannya.
Untuk itu DPR melalui Forum Badan Musyawarah (Bamus) dan forum lobi sepakat untuk menunda RUU Kitab Undang-undang Hukum Pidana ( KUHP) dan RUU Lembaga Permasyarakatan.
Hal tersebut untuk memberikan waktu, baik kepada DPR maupun pemerintah untuk mengkaji dan menyosialisasikan kembali secara masif isi dari kedua RUU tersebut agar masyarakat lebih bisa memahaminya.
Adapun dua RUU lain, yakni RUU Pertanahan dan RUU Minerba, masih dalam pembahasan ditingkat I dan belum masuk dalam tahap pengambilan keputusan.
Baca juga: DPR Tunda Pembahasan 4 RUU, RKUHP Salah Satunya
Pasal 20 ayat (2) UUD 1945 mengamanatkan bahwa “Setiap RUU dibahas DPR dan presiden untuk mendapat persetujuan bersama. Tanpa persetujuan kedua belah pihak, setiap RUU tidak bisa disahkan menjadi UU”.
"Karena ditunda, DPR bersama pemerintah akan mengkaji kembali pasal per pasal yang terdapat dalam RUU KUHP, khususnya yang menjadi sorotan publik,” ujar Bambang melalui rilis tertulis, Selasa (24/9/2019).
Dengan demikian, lanjutnya, masyarakat bisa mendapatkan penjelasan yang utuh, tak salah tafsir, apalagi salah paham menuduh DPR dan pemerintah ingin mengebiri hak-hak rakyat.
Bendahara Umum Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Golkar 2014-2016 ini menjelaskan, pada dasarnya penyusunan RUU KUHP sudah melibatkan berbagai profesor hukum dari berbagai universitas, praktisi hukum, ataupun lembaga swadaya dan organisasi kemasyarakatan.
Dengan begitu, keberadaan pasal per pasal yang dirumuskan bisa menjawab berbagai permasalahan yang ada dalam masyarakat Indonesia.
"Pembahasan RUU KUHP sudah dimulai sejak 1963, melewati masa tujuh kepemimpinan presiden dengan 19 Menteri Hukum dan HAM. Kami sebenarnya sudah berada di ujung. Jika saat ini terjadi berbagai dinamika di masyarakat, sepertinya ini lebih karena sosialisasi yang belum masif,” tutur pria yang akrab disapa Bamsoet ini.
Baca juga: Demo Mahasiswa di DPR Memanas, Massa Lempar Botol Plastik dan Batu
Walaupun pada kenyataannya, kata dia, selama ini DPR melalui Komisi III telah membuka pintu lebar dalam menampung aspirasi.
“Para anggota DPR juga membawa aspirasi dari konstituen mereka. Memang tidak semua aspirasi bisa diterima. Karena itu, kami libatkan berbagai profesor hukum dengan berbagai kepakaran untuk meramu formulasi terbaik," tutur Bamsoet.
Walaupun RUU KUHP ini ditunda oleh DPR dan pemerintah, Kepala Badan Bela Negara FKPPI ini berharap RUU KUHP ini tetap menjadi catatan sejarah dalam perjalanan bangsa ini.
"Sebab, seluruh sumber daya dan pemikiran telah tercurah dari para profesor, ahli, dan praktisi hukum seperti Prof Muladi maupun yang sudah wafat seperti (alm) Prof Soedarto, (alm) Prof Roeslan Saleh, dan (alm) Prof Satochid Kartanegara untuk menuntaskan RUU KUHP ini,” kata Bamsoet.
Baca juga: Berbondong-bondong ke Gedung DPR, Mahasiswa Padati Stasiun Manggarai
RUU KUHP sebenarnya akan menjadi momentum terlepasnya Indonesia dan penjajahan hukum peninggalan kolonial selama kurang lebih 101 tahun.
“Bukan hanya berdikari, sebagai sebuah bangsa kita punya martabat karena bisa melahirkan RUU KUHP yang terdiri dari 626 pasal yang merupakan hasil karya anak bangsa," kata Bamsoet.