KOMPAS.com - Wakil Ketua DPR RI Fadli Zon meminta Pemerintah Indonesia memanfaatkan bencana kebakaran hutan dan lahan (karhutla) 2019 sebagai momen mereformasi industri perkebunan sawit di tanah air.
Ia pun meminta pemerintah harus memperbaiki tata kelola perkebunan sawit agar tidak menjadi penyebab kerusakan lingkungan dan deforestasi.
“Tindak tegas semua perusahaan sawit yang merusak lingkungan. Tanpa adanya perbaikan drastis, produk sawit kita akan semakin ditolak dunia,” tegas Fadli di Jakarta, seperti dalam keterangan yang Kompas.com terima, Jumat (20/9/2019).
Bukan tanpa sebab Politisi Partai Gerindra berkata seperti itu. Pasalnya, kini produk sawit Indonesia diboikot oleh Uni Eropa.
Namun bukan soal lingkungan, pemboikotan tersebut, diduga Fadli, terjadi karena
terselip kepentingan dagang untuk melindungi produk mereka sendiri, yaitu sun flower oil (minyak dari bunga) dan rapeseed oil (minyak dari tumbuhan Brassica).
Maka dari itu, tidak adanya keterbukaan dan keseriusan tindakan dari Pemerintah Indonesia kepada pelaku industri sawit yang nakal telah ikut mempersulit munculnya kepercayaan masyarakat Eropa.
“Palm Oil Free (POF) adalah kampanye negatif terhadap penggunaan produk sawit untuk berbagai industri, terutama consumer product. Sejumlah LSM lingkungan, tambah dia, serta para aktivis di berbagai belahan dunia, merupakan motornya," kata Fadli.
Mereka, kata Fadli, menekan sejumlah industri global untuk mencantumkan label POF di produk yang mereka hasilkan.
Baca juga: Uni Eropa Bantah Buat Aturan yang Hambat Ekspor Minyak Kelapa Sawit RI
Lebih lanjut, Fadli Zon mengungkapkan, kini ada lebih dari 200 perusahaan multinasional dengan ribuan produk pangan dan non-pangan global yang telah mengadopsi label POF.
Produk-produk itu mencakup biskuit, mi instan, coklat, margarin atau mentega, sereal, es krim, makanan ringan, serta makanan beku dan kalengan.
Fadli menyatakan, kampanye tersebut tentu bisa merugikan Indonesia yang merupakan produsen sawit terbesar di dunia.
Apalagi, secara global 83 persen penggunaan minyak sawit untuk industri pangan. Sementara itu, 17 persen sisanya untuk industri non-pangan, termasuk di dalamnya biodiesel.
"Jadi, jika labelisasi POF ini kian meluas, maka Indonesia akan kian kesulitan memasarkan minyak sawitnya,” ungkap Fadli.